Teknologi AI Buatan Doktor ITS Bisa Baca MRI Lebih Akurat dari Mata Manusia

Teknologi AI Buatan Doktor ITS Bisa Baca MRI Lebih Akurat dari Mata Manusia

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Senin, 21 Apr 2025 12:56 WIB
Doktor ITS bikin teknologi AI pembaca MRI
Doktor ITS bikin teknologi AI pembaca MRI/Foto: Istimewa
Surabaya -

Penyakit otak seperti Alzheimer dan tumor memerlukan diagnosis yang cepat dan presisi guna meningkatkan peluang penanganan medis.

Menjawab tantangan ini, Dr Dewinda Julianensi Rumala ST, doktor baru lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), berhasil mengembangkan Artificial Intelligence (AI) berbasis MRI untuk mendukung akurasi diagnosis penyakit otak.

Dewinda menjelaskan, meski Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah menjadi alat utama dalam diagnosis berbagai penyakit otak, proses interpretasinya masih sangat bergantung pada analisis manual oleh dokter.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi, AI dapat berperan dalam mendeteksi pola penyakit yang mungkin tidak terlihat oleh mata manusia," jelas perempuan kelahiran Probolinggo tersebut.

ADVERTISEMENT

Dalam disertasinya di Departemen Teknik Komputer ITS, Dewinda merancang sistem berbasis deep-stacked ensemble learning, yakni kombinasi beberapa jaringan saraf tiruan yang bertujuan menghasilkan prediksi lebih stabil dan akurat.

"Tidak ada satu model yang sempurna, tetapi kombinasi berbagai model dapat menciptakan sistem yang lebih kuat dan adaptif," tambahnya.

Tak hanya fokus pada akurasi, Dewinda juga menyematkan Explainable AI (XAI) dalam inovasinya agar tenaga medis dapat memahami bagaimana sistem membuat keputusan. Melalui teknik Grad-CAM, bagian citra MRI yang menjadi dasar diagnosis ditunjukkan secara visual kepada dokter.

"Bukan hanya soal akurasi, tetapi juga transparansi agar AI diterima dan dipercaya oleh tenaga medis," paparnya.

Inovasi ini juga sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDG), terutama poin 3 terkait peningkatan layanan kesehatan, poin 9 tentang inovasi dan infrastruktur, serta poin 10 mengenai pengurangan kesenjangan. Teknologi ini dirancang agar inklusif dan bisa diakses bahkan oleh fasilitas kesehatan di wilayah dengan keterbatasan sumber daya.

"Selain itu, model yang ringan memastikan teknologi ini tetap dapat diakses dan diterapkan, bahkan di wilayah dengan keterbatasan infrastruktur komputasi," jelasnya.

Diakui tidak hanya secara nasional, inovasi Dewinda telah terpublikasi dalam tiga jurnal internasional dan lima konferensi bereputasi, termasuk di Springer Q1. Ia juga menjadi salah satu peserta dalam MICCAI Workshop di Kanada, konferensi terkemuka dunia untuk AI dalam analisis citra medis, dan meraih Best Poster Presentation Award.

Bersama dosen pembimbingnya, Prof Dr I Ketut Eddy Purnama ST MT, Dewinda juga menghasilkan dua paten nasional: SICOSA2U dan iBrain2U, yang keduanya berfokus pada sistem klasifikasi penyakit otak berbasis AI.

Ke depan, Dewinda berencana untuk terus menyempurnakan model agar lebih adaptif dengan basis data yang lebih luas dan beragam.

"Harapannya, penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk pengembangan sistem AI medis yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi dunia kesehatan," tutup pengulas paper MIDL dan MICCAI tersebut optimistis.




(dpe/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads