Seorang tahanan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Madiun, Jaelono, meninggal dunia setelah dua minggu ditetapkan sebagai tersangka. Jaelono merupakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan kolam renang di Desa Sukosari, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun.
Kabar meninggalnya Jaelono tersebar luas di aplikasi WhatsApp. Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun Oktario Hartawan Achmad membenarkan saat dikonfirmasi. Saat ini pidaknya tengah melakukan pengecekan.
Meski demikian, Oktario menyebut pihaknya masih berkoordinasi dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Madiun. Hal ini untuk memastikan kebenaran informasi dan penyebab meninggalnya korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Infonya begitu, baru dapat kabar, ini Kasi Pidsus sedang kroscek," ujar Oktario kepada detikJatim, Rabu (20/8/2025).
Sebelumnya, Kejari Kabupaten Madiun digugat praperadilan di pengadilan negeri setempat atas penetapan Jaelono sebagai tersangka. Jaelono adalah seorang pekerja harian dalam proyek pembangunan kolam renang di Desa Sukosari, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun.
Juru bicara tim pembela hukum (TPH) Jaelono, Sumadi, menilai tindakan Kejari Madiun telah melampaui kewenangan. Menurutnya, Kejari tidak cermat dalam menangani kasus dugaan korupsi pembangunan kolam renang senilai Rp 600 juta tersebut.
"Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun tidak paham dengan peraturan pengelolaan keuangan desa, UU Keuangan Negara, sehingga tidak cermat dalam penetapan tersangka. Mestinya pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab atas program tersebut, di antaranya Pemegang Kuasa Pengelola Keuangan Desa (PKPKD), Pelaksana Pengelola Keuangan Desa (PPKD), Tim Pelaksan Kegiatan (TPK ) tidak disentuh atau belum ditersangkakan. Justru pekerja harian malah ditersangkakan," ujar Sumadi kepada wartawan, Jumat (1/8/2025).
Sumadi menekankan bahwa kerugian negara haruslah nyata dan pasti, bukan hanya perkiraan. Ia merujuk pada Pasal 1 angka 22 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang berbunyi, "Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai."
Tidak hanya itu, kata Sumadi, pihaknya juga merujuk pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi terkait unsur merugikan keuangan negara harus dititikberatkan adanya akibat (delik materiil).
"Unsur merugikan keuangan tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potensial loss), tetapi harus dipahami kerugian yang benar-benar sudah terjadi (actual loss). Kerugiannya harus jelas dan bukan kisaran," kata Sumadi.
Sumadi menilai Surat Penetapan Tersangka (Pidsus-18) Kejari bernomor TAP-92/M.5.46/Fd.2/07/2025 tanggal 24 Juli 2025 itu ambigu. Bukti permulaan berupa audit internal kejaksaan yang inkonstitusional adanya kerugian negara belum bisa sepenuhnya terbukti dan jadi dasar penetapan tersangka.
"Sehingga ketika penyidik telah menetapkan tersangka sebelum adanya kepastian adanya kerugian negara, hal ini, Kejaksaan Negeri Madiun telah sewenang wenang (abuse of power) alias ngawur," ungkap Sumadi.
Sumadi menduga ada motif lain di balik penetapan tersangka terhadap kliennya yang hanya berstatus pekerja harian lepas dalam pembangunan kolam renang itu.
"Dugaan kami ada motif lain, ada yang mendesain ini. Tokoh berpengaruh. Akan kami bongkar pelan-pelan," katanya.
"Termasuk rekan-rekan media kami ingatkan, jangan ikut framing pihak mana pun. Daya kritis teman-teman diperlukan agar tidak menulis rilis mengalir saja. Tanyakan ke pihak kejaksaan peran dan korelasi klien kami bisa mendapatkan pekerjaan itu, sehingga menjadi pihak yang bertanggung jawab," katanya.
(irb/abq)