Seorang driver ojek online (ojol) bernama Ahmad Sopian kini menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 119,8 miliar. Namun, dari kasus besar ini, Sopian sendiri hanya menerima upah sebesar Rp 250 ribu.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lujeng Andayani menjelaskan, kasus ini bermula ketika Sopian meminjamkan rekening pribadinya kepada Marcel dan Reza, dua orang yang ia kenal melalui Facebook dan kini telah berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang).
"Selanjutnya terdakwa menawarkan diri untuk pembuatan rekening tersebut dengan chat ke aplikasi WhatsApp, sehingga terjadi kesepakatan antara terdakwa dengan Reza (DPO) perihal pembuatan rekening Bank Sinar Mas dan terdakwa akan dibayar Rp 250 ribu," kata Lujeng dalam surat dakwaannya, Selasa (18/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sopian Cuma Terima Rp 250 Ribu
Sopian sendiri mengaku tidak tahu bahwa rekeningnya akan digunakan untuk aksi pencucian uang. Kuasa hukumnya, Anwar Badri, menegaskan bahwa kliennya hanya berperan sebagai penyedia data pribadi untuk pembukaan rekening.
"Upah yang diterima sebesar Rp 250 ribu," ujar Anwar.
Lebih lanjut, Anwar juga menyebutkan bahwa rekening yang digunakan untuk transaksi tidak terinstal di ponsel milik Sopian.
"Patut diduga bahwa rekening bank atas nama klien kami memang digunakan pihak lain," tuturnya.
Rekening Digunakan untuk Bobol Bank Rp 119 Miliar
Pada 5 Juni 2024, Marcel dan Reza membantu Sopian membuat rekening Bank Sinar Mas secara online melalui aplikasi Simobi Plus, dengan menggunakan data pribadinya. Setelah rekening berhasil dibuat, Sopian menyerahkannya kepada keduanya.
Belakangan, diketahui bahwa rekening tersebut dipakai untuk membobol server bank dan menguras saldo sebesar Rp 119 miliar. Dana tersebut kemudian ditransfer ke beberapa rekening lain dan dibelanjakan dalam bentuk aset kripto.
"Bahwa terdakwa dalam mentransfer, mengalihkan, dan membelanjakan aliran dana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang mana uang senilai Rp 2,24 miliar tersebut oleh terdakwa ditransfer ke beberapa rekening lain dalam kurun waktu yang berdekatan pada tanggal 22 Juni 2024," jelas jaksa.
Sebagian dana tersebut dibelanjakan dalam bentuk aset kripto dan dikirim ke akun Binance atas nama terdakwa.
Kasus ini bermula pada 22 Juni 2024, ketika Sopian menemukan postingan di grup Facebook Jual Beli Rekening. Dalam postingan itu, ada seseorang yang mencari rekening dengan imbalan tertentu.
Rekening yang dibuat oleh Sopian memiliki limit transaksi harian hingga Rp 5 miliar dengan jumlah per transaksi maksimal Rp 250 juta melalui Bi-Fast. Limit transaksi ini jauh lebih besar dari profil pendapatan bulanan yang dicantumkan saat pembuatan rekening.
Data dari Bank Indonesia mengungkapkan bahwa ada 483 transaksi anomali yang terjadi pada 22 Juni 2024 antara pukul 12.22 WIB hingga 15.38 WIB, dengan total nominal mencapai Rp 119 miliar di salah satu bank pelat merah.
Akibat perbuatan Sopian dan dua DPO tersebut, bank pelat merah tersebut diklaim mengalami kerugian hingga Rp 119,8 miliar.
Sopian kini dihadapkan pada ancaman Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang masih berlanjut, sementara kepolisian terus memburu dua pelaku utama yang masih buron.
(irb/hil)