Pemilik sekaligus pengasuh panti asuhan di Surabaya berinisial NK (61) diamankan polisi karena mencabuli anak asuhnya. Tak hanya melakukan pencabulan pelaku juga melakukan kekerasan dengan cara memukul anak-anak di panti asuhan itu alias suka main tangan.
"Ada 5 anak, ada yang kasusnya kekerasan, pencabulan. Ada 3 pencabulan, 2 kekerasan," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Keluarga Berencana (DP3APPKB) Surabaya Ida Widayati ditemui detikJatim usai rapat dengar pendapat di Komisi D DPRD Surabaya, Kamis (6/2025).
Ida memastikan bahwa korban pelecehan seksual dan kekerasan di panti asuhan tersebut rata-rata perempuan yang masih di bawah umur. Usia korban antara 14, 15, dan 16 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini semua korban pelecehan dan kekerasan perempuan di bawah umur itu telah ditangani di shelter milik Pemkot Surabaya. Selain anak, ada anak asuh di sana yang merupakan remaja berusia 18 tahun yang turut menjadi korban kekerasan.
Maka, total korban pelecehan seksual dan kekerasan oleh pemilik panti asuhan berinisial NK itu ada 6. Sebanyak 5 korban di antaranya anak di bawah umur dan 1 remaja laki-laki. Pencabulan dan kekerasan fisik itu dilakukan tersangka sejak 2022.
Berdasarkan pengakuan para korban kepada DP3A, NK sebagai pengasuh panti asuhan memang memiliki sifat yang emosional. Karena itulah, ketika yang bersangkutan marah kerap melakukan kekerasan.
"Dipukul, dilempar barang (kekerasan yang didapat korban). Memang yang bersangkutan emosional, tidak semuanya dapat pencabulan. Termasuk anak laki-laki yang tinggal di sana dapat kekerasan," jelasnya.
Saat ini para korban sedang dilakukan terapi dan konseling terus-menerus oleh DP3A. Anak-anak juga masih beradaptasi dengan konselor DP3A dan membutuhkan waktu.
"Perlu waktu 1-2 minggu mungkin bisa diputuskan terapi apa yang tepat buat anak. Terbuka sudah, tapi belum 100%," ujarnya.
Sementara ini, 5 anak korban pelecehan dan kekerasan itu akan tetap tinggal di shelter. Pemkot juga melakukan pendekatan agar anak-anak itu bisa betah dan bertahan dengan cara memenuhi hak-haknya, seperti sekolah dan lainnya.
"Masih adaptasi (anak-anak). Kalau di shelter kami tidak boleh semaunya, tidak boleh pegang HP, keluyuran semaunya nggak boleh. Kalau di tempat panti asuhan kemarin semaunya. Mau ngapa-ngapain bisa. Aturan ini yang mereka perlu adaptasi. Ada yang masih cemberut karena beda pola pengasuhan," ujarnya.
(dpe/iwd)