Hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik meminta sejumlah hal saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Ia meminta ponsel anaknya hingga rekening sang istri dikembalikan.
Diketahui, nama Damanik mencuat usai membebaskan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Ia pun terseret kasus suap dan gratifikasi.
Dalam sidang, ia meminta agar ponsel anaknya yang ikut disita juga dikembalikan. Dia mengatakan, ada kode terkait penempatan notaris anaknya pada ponsel tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus kemudian ada satu HP anak saya Pak, kebetulan di situ ada, anak saya sekarang sedang penempatan notaris Pak, ada di situ nomor kode alfanya Pak di dalam HP itu. Dan mohon juga kalau boleh diperkenankan supaya dikembalikan juga Pak itu ke anak saya Pak," pintanya kepada Majelis Hakim dikutip dari detikNews, Kamis (2/1/2024).
Ia meminta rekening istrinya yang telah disita penyidik dikembalikan. Rekening tersebut, menurutnya, digunakan untuk kebutuhan pengobatan mertuanya yang sedang sakit.
"Ada kemarin yang disita oleh penuntut umum rekening istri saya QQ nama mertua saya. Itu adalah keuangan yang dikelola oleh istri saya untuk mertua saya Pak karena mertua saya sekarang sedang sakit, mohon Pak supaya itu diserahkan," kata Erintuah dalam sidang.
Erintuah menjelaskan rekening itu tidak berkaitan dengan kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Ia berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan permohonan tersebut.
"Dan tidak ada kaitannya dengan perkara ini. Saya mohon Pak supaya boleh itu dikembalikan," tambahnya.
Sementara itu, Ketua majelis hakim Teguh Santoso meminta Erintuah mengajukan permohonan itu secara tertulis. Hakim mengatakan akan mempertimbangkan permohonan tersebut.
"Nanti silakan bapak ajukan saja secara tertulis atau melalui penasihat hukumnya silakan begitu ya, nanti kami pertimbangkan, tembusannya juga ada ke penuntut umum ya," ujar ketua majelis hakim Teguh Santoso.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya didakwa menerima suap Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (setara Rp 3,6 miliar) terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus tewasnya Dini Sera Afrianti. Tiga hakim nonaktif itu juga didakwa menerima gratifikasi.
Pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2024). Ketiga hakim yang menjadi terdakwa ialah Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.
"Terdakwa Erintuah Damanik menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing," kata jaksa.
Jaksa mengatakan Erintuah Damanik menerima gratifikasi dalam bentuk uang senilai Rp 97,5 juta, SGD 32 ribu, dan RM 35.992,25.
Uang tersebut disimpan oleh Erintuah Damanik di rumah dan di apartemennya. Namun jaksa tak menjelaskan dari mana saja uang itu berasal.
"Dianggap pemberian suap yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya yaitu selaku hakim," ujar jaksa.
Heru Hanindyo juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing. Adapun uang yang diterima sebesar sebesar Rp 104,5 juta, USD 18.400, SGD 19.100, 100 ribu yen, 6.000 euro, serta uang tunai sebesar 21.715 riyal.
Jaksa mengatakan Heru Hanindyo telah menerima uang yang berhubungan dengan jabatannya selama bertugas sebagai hakim. Jaksa mengatakan uang itu disimpan dalam safe deposit box (SDB) di suatu bank dan di rumah Heru Hanindyo.
Sedangkan Hakim Mangapul juga didakwa menerima gratifikasi. Rinciannya uang senilai Rp 21,4 juta, USD 2.000, dan SGD 6.000.
"Terdakwa selama menjabat sebagai Hakim telah menerima uang yang berhubungan dengan jabatannya yang disimpan di Apartemen Terdakwa Mangapul dalam bentuk rupiah dan mata uang asing," kata jaksa.
Jaksa mengatakan ketiga hakim nonaktif itu tidak melaporkan terkait penerimaan gratifikasi tersebut kepada KPK. Padahal, seharusnya, mereka melaporkan gratifikasi itu dalam rentang waktu 30 hari sejak menerima gratifikasi.
Selain itu, jaksa menyampaikan para terdakwa tidak melaporkan adanya harta kekayaan dalam bentuk uang tunai ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Jaksa menilai perbuatan para terdakwa dianggap sebagai suap lantaran berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas sebagai hakim.
Akibat perbuatannya, mereka didakwa Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berita ini sudah tayang di detikNews, baca berita selengkapnya di sini!
(hil/iwd)