Wali Murid Paksa Siswa Menggonggong, LPAI: Ortu Bully Anak, Itu Kekerasan

Wali Murid Paksa Siswa Menggonggong, LPAI: Ortu Bully Anak, Itu Kekerasan

Esti Widiyana - detikJatim
Jumat, 15 Nov 2024 21:45 WIB
Ivan Sugiamto,  saat ditangkap polisi di Bandara Juanda
Ivan Sugiamto, saat ditangkap polisi di Bandara Juanda (Foto: Dok. Istimewa)
Surabaya -

Ivan Sugiamto wali murid SMA Cita Hati merasa tak terima anaknya diejek dan dibully siswa SMAK Gloria 2 dan memaksa sujud minta maaf dan menggonggong. Kasus ini pun berbuntut panjang dan kini Ivan telah ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal UU Perlindungan Anak.

Pengurus LPAI Jatim Bidang Data, Informasi, dan Litbang Isa Ansori mengatakan terdapat fakta bahwa antaranak terjadi masalah kekerasan, saling bully dan sebagainya. Di antara saling bully anak, fakta lainnya ada orang tua yang tidak terima anaknya di-bully.

"Ketika orang tua tidak bisa menerima anaknya di-bully oleh anak lain, maka orang tuanya melakukan pembullyan terhadap anak. Ini sudah berbeda, kalau anak ke anak itu perilaku perlindungan anak dan artinya anak keduanya menjadi korban," kata Isa saat dihubungi detikJatim, Jumat (15/11/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tetapi ketika orang tua terlibat membully anak, maka orang tua itu menjadi pelaku kekerasan terhadap anak dan ancamannya cukup berat 15 tahun penjara maksimal," tambahnya.

Isa mengatakan terdapat fakta kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak. Salah satunya meminta anak sujud, menggonggong.

ADVERTISEMENT

"Ini tidak cukup kekerasan, tapi merendahkan martabat manusia. Ada pelanggaran HAM juga," ujarnya.

Menurutnya, hal ini tidak boleh terjadi kekerasan, apalagi orang tua terlibat. Seharusnya menyelesaikan masalah anak-anak sesuai dengan Undang-Undang.

Fakta yang lain, lanjut Isa, terdapat kekerasan terhadap anak dan unsur merendahkan martabat manusia. Satu-satunya jalan menyelesaikan masalah adalah proses hukum yang diharapkan ada keputusan seadil-adilnya ketika terjadi kekerasan.

Isa menjelaskan pada konteks pembangunan karakter ada tiga pihak yang perlu terlibat, orang tua, guru atau sekolah dan lingkungan. Negara juga sudah melindungi dalam bentuk UU anak, UU HAM.

Di sekolah terdapat satgas anti kekerasan dan kelak terwujud sekolah ramah anak. Orang tua disebut harus membantu sekolah berproses menjalankan anti kekerasan di dalam ruang lingkup sekolah, di rumah adalah tanggung jawab.

"Pola pendekayan di rumah menjadi sumbangsih, kalau dilatih menghargai, punya empati akan berlangsung di sekolah. Kasus pembullyan ini yang lepas, ada pengaruh lingkunhan masyarakat," jelasnya.

Hadirnya UU perlindungan anak dan sebagainya harus dikawal. Di sekolah ramah anak, di lingkungan ada rumah ramah anak dan tugas DP3A dan BKKBN.

Terkait pendidikan karakter ada variabel informasi yang tidak bisa diikuti orang lain. Pada kondisi anak lebih mudah mengakses informasi di tengah kesibukan orang tua dan ketidak mampuan orang tua menjangkau itu semua, sehingga anak masuk ke ruang itu.

"Ketika mengakses informasi, siapa yang mendampingi? Orang tua mungkin sibuk, sekolah di luar jam belajar sekolah tidak bisa menjangkau. Negara harus menjangkau informasi mana yang boleh dan tidak boleh. Tapi negara cukup memberi imbauan, ketika mengakses informasi ada peringatan batas usia 18+ atau kurang. Kadang-kadang rasa ingin tahu dengan mengakali usia 18+. Maka bagaimana menggunakan variabel lain di luar rumah dan sekolah, ada variabel informasi, teknologi, cara bijaksana. Kembali pada fungsi pengasuhan dan pendidikan di sekolah," pungkasnya.




(abq/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads