Kasus pengeroyokan yang terjadi pada AH lantaran menolak permintaan pacarnya untuk aborsi berakhir damai. Kasus tersebut diselesaikan secara restorative justice (RJ).
"Korban bermohon untuk melakukan pencabutan pelaporan polisi dan perkara ini diselesaikan melalui restorative justice. Untuk alasan kenapa perkara ini melalui RJ dapat disampaikan oleh korban," ujar Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak Iptu M Prasetya, Kamis (2/11/2023).
Menanggapi hal tersebut, pakar hukum pidana Unair, I Wayan Titib khawatir bahwa upaya restorative justice yang diambil justru menjadi bentuk penghindaran terhadap sanksi yang lebih berat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam kasus pengeroyokan itu, pelaku (kekasih) AH, bersama teman-temannya, melanggar Pasal 170 KUHP Jo Pasal 351 ayat 1 dan atau ayat 2. Mengenai upaya restorative justice untuk pelaku, terlalu sumir, jelas mensrea (niat) jahat pelaku sudah jelas dan terang, yaitu memaksa korban untuk melakukan aborsi," kata Wayan, Jumat (3/11/2023).
"Padahal aborsi itu, kejahatan terhadap nyawa. Aborsi janin, itu sama dengan membunuh manusia. Sekali lagi, hindari upaya restorative justice, saya khawatir upaya ini untuk menghindari sanksi pidana yang berat," imbuhnya.
Wayan kemudian menduga upaya restorative justice yang difasilitasi polisi karena cenderung berpihak ke pelaku. Wayan berpendapat bahwa upaya restorative justice semestinya dilakukan untuk benar-benar melindungi kepentingan korban.
"Kalau penyidik paksakan restorative justice patut diduga, penyidik lebih berpihak kepada pelaku daripada melindungi kepentingan korban (AH), ada apa?," pungkas Wayan.
(abq/iwd)