Lanjutan kasus sidang suap yang menyeret hakim nonaktif PN Surabaya Itong Isnaeni Hidayat kembali digelar. Kali ini, sidang beragendakan pemeriksaan terdakwa.
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Surabaya mulai siang hingga sore. Dalam pemeriksaannya, terdakwa tetap kekeh menolak semau dakwaan yang dialamatkan kepadanya.
Itong menyebut bahwa ia tidak memberikan janji dan menerima uang yang disangkakan kepadanya dari pihak lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menerangkan jika penerimaan yang disebut dalam dakwaan itu tidak terbukti adanya. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada satu buktipun yang memperlihatkan dirinya menjanjikan dan menerima sesuatu.
Dari 33 saksi yang masuk dalam BAP, ia mengatakan hanya 18 saksi yang dimintai keterangan di persidangan dan 1 orang saksi mahkota yakni Hamdan yang mengatakan bahwa dirinya telah menerima uang tersebut.
"Pertama, mengenai uang Rp 260 juta katanya dia (Hamdan) tidak tahu jumlahnya. Dia hanya menyebut sekitar Rp 100-150 juta sedangkan faktanya, keterangan Hendro mengatakan bahwa sebelumnya dia ke Hendro meminta uang Rp 200 juta dan tambahannya Rp 60 juta berarti dia tahu, bukannya tidak tahu kenapa kok bohong?," kata Itong usai sidang, Selasa (20/9/2022).
Lebih lanjut, Itong menjelaskan bahwa ketidaksesuaian pernyataan Hamdan yang lain adalah terkait penerimaan uang dari Hendro dalam upaya dugaan menyuap dirinya.
"Kedua, Hamdan mengatakan bahwa menerima uang di ruang transit PP, sedangkan Hendro mengatakan uang itu dimasukkan di mobil. Nah ini juga bertentangan. Ini juga harus dibuktikan yang benar yang mana," jelas Itong.
Itong menambahkan bahwa ia juga telah mencatat sejumlah keterangan yang tidak sesuai yang ditemukannya selama persidangan berlangsung.
"Ketiga, uang itu dibawa Hamdan di saku belakang dan menuju ke atas ke ruangan saya. Ini di dalam hukum alasannya ndak logis karena bagaimana mungkin uang Rp 260 juta disimpan di saku belakang? itu ndak mungkin. Dan Hamdan mengatakan tidak tahu terima uang jumlahnya berapa, nah ini juga tidak mungkin masak orang menerima uang tidak tahu berapa jumlahnya," ujarnya Itong.
Sementara itu Kuasa Hukum Itong, Mulyadi menyebutkan bahwa ke depan pihaknya akan menyerahkan bukti-bukti yang timnya temukan selama persidangan berlangsung.
"Terkait bukti, nanti akan kita serahkan dalam pembelaan terkait keterangan fakta di persidangan," kata Mulyadi.
Sementara itu, Wawan Yunarwanto selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengatakan jika semua yang diterangkan oleh Itong menurutnya sah-sah saja.
"Pada prinsipnya kan terdakwa punya hak ingkar ya, jadi mau menerangkan apapun ya sah sah saja tapi kemudian kan kita bisa menilai apakah keterangan itu sesuai dengan bukti yang lain," kata Wawan.
Wawan menambahkan, tidak hanya itu, saat disinggung soal 18 saksi yang telah dihadirkan sebelumnya dan hanya 1 saksi yang mengaku melihat secara langsung suap tersebut, ia menambahkan bahwa ada yang namanya alat bukti petunjuk dan penilaian tidak hanya disimpulkan soal saksi yang melihat saja.
"Persidangan itu tidak hanya menilai saksi yang terkait, tetapi juga saksi yang ada hubungannya. Jadi jangan dinilai kemudian saksi itu yang mengetahui langsung. Ada yang namanya alat bukti petunjuk," tandas Wawan.
Sebelumnya, KPK menetapkan hakim PN Surabaya Itong Isnaeni Hidayat dan panitera pengganti serta Hamdan sebagai tersangka di kasus dugaan suap vonis perkara PT Soyu Giri Primedika (SGP). Keduanya diduga menerima suap.
"KPK menemukan adanya bukti permulaan yang cukup. Maka KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka sebagai berikut: sebagai pemberi HK (Hendro Kasiono), sebagai penerima HD dan IIH," ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (20/1).
Hendro Kasiono adalah pengacara PT SGP. KPK menyebut terjadi kerja sama antartersangka untuk membuat PT SGP diputus bubar oleh PN Surabaya.
"Diduga uang yang disiapkan untuk mengurus perkara ini sejumlah sekitar Rp 1,3 miliar dimulai tingkat putusan Pengadilan Negeri sampai tingkat putusan Mahkamah Agung," kata Nawawi.
(abq/iwd)