Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren terjadi di sejumlah titik. Catatan dari Komnas Perempuan, ada tiga kasus kekerasan seksual di pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur.
"Catatan kami ada tiga di Jawa Timur. Angka kekerasan seksual, yang dalam pemantauan Komnas Perempuan salah satunya Jombang ya sejak 3 tahun lalu, kemudian di Banyuwangi, satu lagi di Mojokerto kalau tidak salah. Tiga itu saja di Jatim untuk pesantren," kata Komisioner Komnas Perempuan, Dr Hj Maria Ulfah di Kantor PWNU Jatim usai acara Workhsop Pesantren Ramah Anak, Kamis (7/7/2022).
Maria menyebut, banyak hal yang membuat kasus kekerasan seksual di pesantren atau lembaga pendidikan lainnya jalan di tempat. Salah satunya kepolisian kurang maksimal menjalankan otoritasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seperti di Jombang, kasus kekerasan di pesantren itu, komnas perempuan sudah mengadvokasi 3 tahun lalu. Banyak faktor yang membuat belum bisa ditangani, itu koreksi terhadap kepolisian, karena sebenarnya mereka punya otoritas," tegas Maria.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga menyoroti upaya dari kemenag agar lebih memperhatikan pesantren. Tidak hanya sekadar memberi izin, lalu membiarkan. Komnas perempuan disebutnya juga mendukung agar kemenag mencabut izin Ponpes Shiddiqiyyah Ploso.
"Secara administratif karena pesantren itu izinnya ada di kemenag, ya harus dicabut. Dan Kemenag harus memantau terus, karena merusak nama pesantren lain, jangan sampai seolah-olah masyarakat menggeneralisir semua pesantren sama," tegasnya.
"Ini menjadi pembelajaran ke kemenag, untuk melakukan pemantauan ke pesantren, agar izin itu tidak semudah memberi izin terus dibiarkan. Harus ada pemantauan, agar tidak terjadi kasus demikian (di Jombang)," lanjutnya.
Maria berharap, adanya Satgas Pesantren Ramah Anak yang diinisiasi RMI NU Jatim bisa menjadi komitmen pesantren untuk menghentikan kekerasan seksual pada anak di pesantren.
"Kalau bisa memiliki SDM yang baik, mengetahui perspektif gender yang baik, perlindungan anak," tambahnya.
Sementara Ketua RMI NU Jatim, KH Iffatul Lato'if mengatakan, nantinya pesantren ramah anak akan memiliki acuan yang tegas, khususnya dalam melindungi para santri.
"Dalam rangka memformulasikan pesantren ramah santri atau ramah anak. Ke depan bisa jadi acuan pesantren yang ada di Jatim disamping mengacu kepada UU Pesantren dan Perda Pesantren yang dikeluarkan teman DPRD provinsi," katanya.
Ketua DPW Perempuan Bangsa Jatim, Hikmah Bafaqih mengungkapkan pihaknya siap mensupport Pesantren Ramah Anak gagasan RMI Jatim.
"Yang ingin kami sampaikan, forum ini PWNU, dalam hal ini RMI dan pesantren di bawah NU siap menangani kasus yang potensial ada. Kita juga bersiap mengantisipasi, Jatim merespons baik dan menghargai proses hukum untuk tersangka," katanya.
"Konkretnya dimulai perbedaan cara pandang, masalah relasi di pesantren itu harus ada yang didesain ulang, dan dalam pengasuhan alternatif menggantikan orang tua itu dalam pesantren ada beberapa hal yang ditekankan agar terjadi komunikasi yang saling respek. Pesantren jangan dikriminalisasi, tapi santri harus dilindungi. Jangan sampai timbul generalisasi di pesantren. Kami perempuan bangsa siap support," tegasnya.
(fat/fat)