Fenomena prostitusi online via aplikasi di Surabaya kini semakin mudah ditemukan. Salah satunya dengan aplikasi MiChat. Melalui aplikasi perpesanan yang mulai bergeser fungsinya ini, para pelaku prostitusi dengan mudah menjajakan diri dan menggaet pelanggan.
Para pelaku prostitusi kini bahkan tak membutuhkan muncikari yang menawarkan layanan seks ke pelanggan. Mereka bisa menawarkan jasa esek-esek ini langsung ke pelanggan melalui aplikasi.
Lalu, apakah pelaku bisa dipidana?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Brahma Astagiri menyebut dalam konteks ini yang dilihat merupakan perbuatan melanggar hukum atau pidana yang dilakukan pelaku.
"Mohon maaf ini jika kita lihat dari perspektif hukum pidana, dia ngapain, dia ada perbuatan melanggar hukum apa sih. Jadi yang bisa dipidana itu adalah perbuatannya. Misal ada X lady, dia menawarkan diri, mohon maaf ketika menawarkan jasa seksual, atau kencan yang melanggar hukum, saya kira begitu (bisa dipidana)," papar Brahma kepada detikJatim, Jumat (4/3/2022).
Brahma mengatakan jika ada perbuatan yang melanggar hukum, maka pelaku yang menjajakan diri lewat aplikasi perpesanan tersebut juga bisa dipidana. Namun memang harus ditilik perbuatan melanggar hukum apa yang dilakukan pelaku. Misalnya MiChat dijadikan media untuk melakukan penipuan. Atau dijadikan media menawarkan jasa esek-esek.
"Ranahnya harus kita lihat case by case, kalau kita lihat perbuatan pidananya, sifat melawan hukumnya ada, maka bisa dipidana," imbuhnya.
Di kesempatan ini, Brahma juga menyinggung soal prostitusi klasik. Di mana ada muncikari yang menawarkan anak buahnya untuk melayani jasa esek-esek. Dalam kasus ini, biasanya muncikari bisa dikenakan pidana. Sedangkan anak buahnya, kerap menjadi korban
"Dulu kan prostitusi klasik, ada muncikari, ada anak buahnya. Bisa juga ngomong soal trafficking, dia dijanjikan kerja ke kota, lalu dibohongi. Korban diberi makan, baju, perhiasan, handphone bahkan dibayari kosa. Tahu-tahu selama sebulan nggak diberi kerjaan dan tiba-tiba oleh maminya atau brokernya ditagih utang, diancam harus bayar utang akhirnya dipaksa bekerja melayani seks. Dia jadi korban," jelas Brahma.
Namun saat ini, lanjut Brahma, fenomena tersebut mulai bergeser. Kendati demikian, para pekerja seks bukan berarti hanya dianggap sebagai korban. Hal ini bisa dilihat apakah pelaku memiliki perbuatan melanggar hukum.
"Jadi kita ngomong tersangka atau bukan melihat dari perbuatannya," pungkasnya.
(hil/iwd)