Bangunan bercat putih yang berdiri di seberang Jembatan Merah Plaza ini masih kokoh sejak pertama kali didirikan pada 1902. Warga Surabaya mengenalnya sebagai Gedung Singa. DetikJatim mengulas bangunan yang konon pernah berfungsi sebagai kantor asuransi pada era pemerintahan Hindia Belanda tersebut.
Gedung Singa terletak di Jalan Jembatan Merah, Kecamatan Krembangan, Surabaya. Sejarahnya tergolong panjang. Namun sayangnya, gedung ini belum sepenuhnya dikenal luas oleh masyarakat. Kondisinya yang kini berpintu tertutup rapat, dengan dinding dan jendela berdebu, menandakan bangunan ini telah lama ditinggalkan dan tak lagi beroperasi seperti saat pertama kali didirikan.
Pemerhati sejarah dari Komunitas Begandring Surabaya, Kuncarsono Prasetyo, menilai Gedung Singa bukan sekadar bangunan tua. Menurutnya, gedung ini merupakan laboratorium gagasan tentang bagaimana arsitektur, seni, dan simbol dapat berbicara mengenai iklim, budaya lokal, hingga kritik terhadap kolonialisme.
Pada rentang tahun 1900 hingga 1901, arsitek asal Belanda Hendrik Petrus Berlage merancang bangunan ini bersama dua rekannya. Joseph Mendes da Costa dipercaya sebagai pemahat dua patung singa di bagian depan gedung, sementara Jan Toorop mengerjakan lukisan mosaik yang menghiasi fasad bangunan.
Berdasarkan penuturan Kuncarsono, Berlage merupakan satu-satunya arsitek yang pernah membangun gedung di Hindia Belanda yang kemudian namanya menjadi rujukan penting dalam kajian arsitektur modern dunia.
"Berlage banyak mendirikan bangunan di Amerika, Belanda, atau Eropa. Sedangkan di Indonesia pada saat itu hanya ada dua, di Surabaya dan di Jakarta, dan dua-duanya itu bangunan asuransi," kata Kuncarsono.
Ia menjelaskan, Berlage dianggap penting karena hampir seluruh arsitek yang berkarya di Hindia Belanda pada masa itu merupakan muridnya. Pengaruh Berlage tampak jelas pada bangunan hingga tata kota di Indonesia pada abad ke-20, meskipun saat merancang Gedung Singa, Berlage belum pernah datang langsung ke Indonesia.
"Dia saat itu melakukan kajian serius tentang arsitektur Nusantara. Makanya, bangunan Gedung Singa itu pada akhirnya kita sepakati bukan termasuk arsitektur Belanda, tetapi arsitektur Nusantara modern dalam kategori gaya arsitektur Belanda," tutur Kuncarsono.
Gedung Singa sebagai bangunan arsitektur Nusantara modern bergaya Belanda dirancang Berlage dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini berbeda dengan bangunan-bangunan sebelumnya yang masih sepenuhnya meniru arsitektur Belanda dan kurang cocok dengan lingkungan tropis.
Menurut Kuncarsono, Berlage sangat memperhatikan iklim Indonesia yang panas dan bercurah hujan tinggi. Hal tersebut terlihat dari desain jendela Gedung Singa yang tidak langsung menghadap ke luar. Berlage merancang selasar untuk melindungi kayu dan tembok dari terpaan panas matahari serta hujan ekstrem khas daerah tropis.
Selain itu, Kuncarsono juga membandingkan perbedaan mencolok antara bangunan di Eropa dan di Hindia Belanda. Ia menilai selama ini terdapat kesalahpahaman bahwa bangunan peninggalan kolonial selalu identik dengan gaya arsitektur Belanda.
Padahal, menurutnya, bangunan-bangunan tersebut justru merupakan arsitektur tropis yang dipengaruhi banyak variabel. Di Eropa sendiri, tidak pernah ada model bangunan seperti Gedung Singa.
"Daerah tropis kan panas, gerah, butuh banyak angin dan bukaan. Nah, Berlage ini menjadi yang pertama merancang open space atau area terbuka di tengah bangunan Gedung Singa. Udara dari luar bisa masuk melalui jendela-jendela tinggi lalu menembus ke area terbuka tersebut," jelas Kuncar.
Konsep semacam ini tidak dimiliki bangunan Eropa yang beriklim dingin dan membutuhkan ruang tertutup sepenuhnya. Karena itu, pengetahuan arsitektur tropis yang diperkenalkan Berlage kemudian diadopsi oleh murid-muridnya sebagai pola bangunan kolonial tropis pasca-Berlage.
Kuncarsono mencontohkan bangunan pasca-Berlage di Surabaya, salah satunya Balai Kota Surabaya. Bangunan tersebut memiliki koridor di lantai satu dan dua yang mengelilingi gedung, sehingga tidak ada pintu atau jendela yang langsung menghadap ke luar. Selain melindungi material bangunan, desain ini juga berfungsi menahan air hujan agar tidak masuk ke dalam gedung.
"Contoh lainnya bisa dilihat dari Hotel Majapahit Surabaya. Dari jalan terlihat jendelanya masih menjorok ke dalam," tambah Kuncarsono.
Atas dasar itu, Kuncar menilai Gedung Singa pantas mendapatkan perhatian lebih, baik dari pemerintah kota, pemerhati dan penikmat sejarah, maupun dari masyarakat luas.
Ia menyebut Gedung Singa sebagai bangunan pertama di Hindia Belanda yang arsiteknya berusaha memahami kultur Timur dan iklim tropis dengan tujuan menjangkau masyarakat lokal serta memberikan kenyamanan. Dari situlah, menurut Kuncarsono, Gedung Singa dapat dibaca sebagai refleksi anti-kolonialisme yang tidak memaksakan kehendak dan tidak tampil secara kasatmata di permukaan.
Simak Video "Video: Wanita-wanita Kuat Kuli Panggul Pasar Pabean Surabaya"
(ihc/abq)