Di sebuah lahan luas di Desa Bakung, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, berdiri sebuah monumen yang menjadi penanda salah satu episode penting dalam sejarah Jawa Timur, yakni Monumen Trisula. Bangunan monumental ini dibangun untuk mengenang operasi militer yang digelar pada akhir 1960-an dalam rangka menumpas sisa-sisa Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peristiwa tersebut hingga kini menjadi bagian penting dari pembelajaran sejarah lokal maupun nasional. Berkat nilai sejarah dan arsitekturnya yang sarat simbolisme, Monumen Trisula sering dikunjungi pelajar, veteran, peneliti, hingga wisatawan yang ingin memahami kembali jejak peristiwa tersebut.
Monumen Trisula berdiri di atas lahan seluas 5.626 meter persegi, menampilkan lima patung utama, deretan pilar, serta anak tangga yang keseluruhannya dirancang dengan makna simbolik yang kuat. Elemen-elemen tersebut bukan sekadar dekorasi, setiap bentuk dan angka merujuk pada narasi sejarah yang melatarbelakangi pembangunan monumen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain menjadi tugu peringatan, kawasan ini juga dikelola sebagai destinasi wisata sejarah oleh pihak desa, sehingga pengunjung dapat menikmati pengalaman edukatif sekaligus rekreatif. Yuk, simak berbagai informasi mengenai Monumen Trisula Blitar.
Latar Sejarah Operasi Trisula
Pada tahun 1968, sebuah operasi militer berskala besar diluncurkan setelah ditemukan aktivitas kelompok yang diduga merupakan sisa-sisa PKI di sejumlah wilayah. Dilansir dari setikJatim, operasi ini kemudian dikenal dengan nama Operasi Trisula, dan bertujuan menghentikan upaya konsolidasi kelompok-kelompok tersebut pascaperistiwa 1965.
Tiga kawasan di Jawa Timur menjadi titik utama penindakan, yaitu Malang Selatan, Blitar Selatan, dan sebagian Tulungagung. Di antara wilayah-wilayah itu, Blitar Selatan menjadi fokus yang paling menonjol dalam catatan sejarah.
Operasi di daerah ini berlangsung lebih lama dan dianggap memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Medan yang sulit, kondisi sosial masyarakat, hingga pola persembunyian kelompok yang diburu membuat operasi berlangsung dalam durasi yang panjang.
Skala operasi militer tersebut sempat menyita perhatian publik nasional kala itu. Dampak sosial dari operasi militer ini juga cukup signifikan.
Masyarakat di sekitar kawasan operasi merasakan langsung perubahan pola kehidupan, ketergantungan pada aparat keamanan, hingga trauma kolektif yang masih menjadi memori turun-temurun. Untuk menandai peristiwa tersebut sekaligus menyediakan ruang refleksi sejarah, Monumen Trisula kemudian didirikan sebagai pengingat, penanda, dan sarana pembelajaran bagi generasi berikutnya.
Pembangunan monumen ini dimaksudkan bukan hanya untuk memperingati operasi militer, tetapi juga untuk memberikan pemahaman tentang dinamika sosial dan politik yang terjadi di kawasan Blitar Selatan pada masa itu. Kehadiran monumen menjadi pengingat bahwa peristiwa bersejarah selalu membawa dampak bagi masyarakat, baik berupa perubahan tatanan sosial maupun narasi politik yang mewarnai perjalanan bangsa.
Jejak Visual dan Simbolisme Monumen
Dari kejauhan, Monumen Trisula tampak mencolok berkat lima patung yang berdiri tegak sebagai pusat visual. Tiga patung menggambarkan prajurit TNI lengkap dengan atribut senjata, sementara satu patung menunjukkan prajurit yang menunjuk ke depan sebagai simbol arah, kepemimpinan, dan semangat perjuangan.
Monumen Trisula Foto: Istimewa |
Dua patung lainnya menggambarkan rakyat sipil yang ikut membantu operasi, menegaskan konsep persatuan antara militer dan warga dalam menghadapi situasi saat itu. Tidak hanya patung, berbagai angka pada monumen ini juga memiliki makna simbolik yang penting.
Terdapat 45 anak tangga, yang merujuk pada tahun Proklamasi 1945. Lalu, terdapat 17 pilar, melambangkan tanggal 17, dan angka 8 yang merujuk pada bulan Agustus. Elemen-elemen ini menyatukan narasi perjuangan nasional dengan memori lokal, menjadikan Monumen Trisula sebagai titik temu antara sejarah negara dan sejarah daerah.
Pada bagian bawah struktur patung, terdapat ukiran nama-nama korban dari berbagai pihak. Kehadiran nama-nama tersebut mempertegas bahwa peristiwa yang diabadikan bukan hanya operasi militer, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang menyisakan cerita bagi masyarakat sekitar. Elemen ini menjadi salah satu sudut edukatif yang sering diperhatikan pengunjung, terutama para pelajar dan peneliti.
Peresmian dan Upaya Pelestarian
Monumen Trisula diresmikan pada 18 Desember 1972 oleh Deputy Kasad Letjen TNI Mochamad Jasin. Peresmian tersebut menandai pengakuan resmi terhadap pentingnya peristiwa Operasi Trisula dalam narasi sejarah nasional.
Sejak itu, monumen ini terus dipertahankan oleh pihak desa dan pemerintah daerah agar tetap berfungsi sebagai ruang edukasi sejarah. Meski telah berusia lebih dari lima dekade, Monumen Trisula masih dilaporkan dalam kondisi cukup terawat.
Pengunjung datang silih berganti, baik untuk keperluan wisata, studi sejarah, maupun ziarah mengenang peristiwa masa lalu. Meski demikian, diskusi mengenai interpretasi sejarah yang disampaikan di monumen ini sesekali muncul di tengah komunitas, mengingat peristiwa tahun 1968 merupakan fase sejarah yang memiliki banyak sudut pandang.
Sebagai penanda sejarah yang diresmikan pada awal 1970-an, Monumen Trisula berhasil mentransformasikan peristiwa penting dalam sejarah Blitar Selatan menjadi pelajaran visual yang kuat. Melalui lima patung utama dan berbagai elemen simbolik di sekitarnya, monumen ini menceritakan narasi resmi tentang persatuan rakyat dan militer dalam menghadapi sisa-sisa kekuatan PKI.
Kini, dengan statusnya sebagai destinasi wisata sejarah yang dikelola secara lokal, monumen ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Monumen Trisula bukan hanya tempat bagi mereka yang ingin menapak tilas jejak sejarah, tetapi juga wahana refleksi bagi generasi muda tentang salah satu periode paling menentukan dalam perjalanan sosial dan politik Indonesia.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)












































