Masyarakat Jawa memandang malam purnama sebagai waktu yang penuh makna. Ketika rembulan bulat sempurna, banyak orang melakukan tirakat, laku batin, hingga berbagai ritual adat yang diyakini membawa ketenangan dan penyucian diri.
Cahaya bulan dianggap menghadirkan energi baik, sehingga sejumlah tradisi digelar saat cahayanya mencapai puncak. Malam purnama pun diisi dengan semedi, ruwatan, hingga ritual kejawen yang menjaga harmoni manusia dengan alam. Lalu, bagaimana sebenarnya masyarakat Jawa memaknai fenomena astronomi ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi Masyarakat Jawa Saat Bulan Purnama
Bagi masyarakat Jawa, hadirnya bulan purnama bukan sekadar fenomena alam, tetapi momen istimewa yang sarat makna spiritual. Di berbagai daerah, malam purnama dirayakan lewat beragam tradisi. Tradisi-tradisi ini menjadi cerminan kearifan lokal yang masih lestari hingga kini.
1. Tradisi Ruwatan Bulan Purnama
Ruwatan, salah satu tradisi yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Tradisi ini masih dilakukan masyarakat Jawa hingga kini, khususnya masyarakat desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Jawa Timur.
Ritual ini dilakukan dengan tujuan melakukan penyucian atau pembersihan diri yang hanya bisa dilakukan saat bulan purnama. Sejak dulu, prosesi penyucian ini dilakukan di Candi Brahu, satu-satunya candi di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Melansir jurnal Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan Mojokerto oleh Agus Lutfiadin, ruwatan dalam bahasa Jawa berasal dari kata 'ruwat' yang berarti selametan.
Ajaran turun-temurun yang masih dipegang hingga saat ini menyebutkan dua konsep penting, yaitu luar saka panenung (wewujudan sing salah kedaden) dan luar saka ing beban lan paukumaning dewa.
Ajaran tersebut menjelaskan bahwa laku ini dilakukan agar manusia tetap selamat, terhindar dari kejadian buruk, bebas dari beban maupun hukuman para dewa, serta jauh dari segala bentuk kesialan.
Oleh karena itu, ruwetan dilakukan dengan harapan manusia mampu hidup dengan aman, nyaman, dan tenteram setelah melakukan pembebasan dan penyucian atas dosa-dosa atau kesalahan yang bisa berdampak di kemudian hari.
Masyarakat Trowulan percaya bulan purnama mampu menghilangkan energi-energi negatif di bumi dan manusia. Hal ini berkaitan dengan bagaimana air laut akan tertarik gravitasi bulan yang besar pada saat bulan purnama.
Terdapat perbedaan yang dilakukan masyarakat zaman Majapahit dengan masyarakat Jawa saat ini, yaitu pakaian yang dikenakan. Zaman dulu, perempuan harus telanjang bulat saat prosesi ruwatan, sedangkan laki-laki hanya memakai cawat.
Masuknya ajaran Islam di Jawa serta akibat dari perkembangan zaman, pelaku ritual berganti memakai pakaian lengkap yang menutup aurat untuk menghindari hal yang ditentang dalam ajaran Islam.
Acara ruwetan biasanya digelar pada momen khusus, yakni tanggal 15 bulan Jawa dalam penanggalan tradisional. Pada malam tersebut, rangkaian ritual dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, untuk melaksanakan doa dan laku budaya yang sudah diwariskan turun-temurun.
2. Slametan Njangkar
Slametan Njangkar merupakan tradisi yang lahir dari kepercayaan masyarakat pesisir Pantai Perigi terhadap Nyi Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Tradisi yang berlangsung di Kecamatan Watulino, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, ini biasanya digelar setelah padhang bulan atau bulan purnama.
Pantai Prigi terletak di rangkaian garis pantai selatan. Sebagian besar penduduk yang tinggal di pesisir Pantai Prigi berprofesi sebagai nelayan. Meskipun sebagian masyarakatnya menganut agama Islam, adat Jawa hingga mitos-mitosnya masih sangat dijaga hingga saat ini.
Karena itu, penduduk pesisir Pantai Prigi memiliki kedekatan batin dengan Nyi Roro Kidul. Berbagai ritual maupun tradisi masih ditujukan kepadanya. Salah satunya Slametan Njangkar yang dilaksanakan setelah bulan purnama habis.
Melansir jurnal Refleksi Kepercayaan Masyarakat Pesisir Pantai Perigi dalam Sajen Slametan Njangkar (Kajian Etnolinguistik) oleh Ayunda Riska Puspita, Slametan Njangkar dilakukan sebulan sekali setelah perahu, jaring, dan segala peralatan melaut dibawa ke tepi pantai untuk diperbaiki.
Sebelum kembali melaut, masyarakat pesisir Prigi melakukan upacara slametan menggunakan sajen yang diberikan kepada Nyi Roro Kidul. Sajen yang diberikan memiliki maknanya masing-masing.
Seperti untuk merefleksikan asal mula manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan orang lain, serta hubungan manusia dengan Nyi Roro Kidul.
Ada pun tujuan dari upacara slametan njangkar ini seperti untuk berdoa dilimpahkan rezaki, iman Islam, dan baktinya kepada orang tua, terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, tujuan besar dari upacara ini adalah memohon keselamatan kepada Tuhan.
Juga sekaligus meminta izin kepada Nyi Roro Kidul sebagai Penguasa Pantai Selatan. Meminta izin kepada Nyai ini dilakukan karena agar saat melaut, masyarakatnya diberikan perlindungan sebab telaah memasuki wilayahnya dan mengambil sebagian harta yang dimiliki Nyi Roro Kidul.
3. Upacara Kasada
Tradisi yang dilakukan saat bulan purnama oleh masyarakat Jawa lainnya adalah upacara Kasada. Upacara ini dilakukan masyarakat desa di kawasan Tengger, Bromo, Jawa Timur.
Upacara adat ini dilakukan setiap tanggal 14 atau bulan purnama mangsa Ashada atau Kasada. Masyarakat Tengger berdatangan menuju Bromo untuk ngelabuh atau mempersembahkan hasil bumi (palawija) melalui kawah Gunung Bromo.
Melansir jurnal Aspek Ritual dan Maknanya dalam Peringatan Kasada Pada Masyarakat Tengger Jawa Timur karya Tjitjik Sriwardhani, upacara Kasada ditujukan kepada Dewa Brahma sekaligus menjadi bentuk penghormatan kepada para leluhur yang menjadi cikal bakal masyarakat Tengger.
Ritual ini juga dimaknai sebagai pengingat atas perjuangan nenek moyang dalam membangun dan memberi perlindungan bagi generasi mereka. Dalam tradisi tersebut dikenal ajaran Niti Luri wulan Kasada.
"Niti Luri wulan Kasada nyekar dhateng kawah gunung Bromo, sarto malih ngelabuh palawijapalawiji sak kerapala kang dipun gemeni katura dhateng Sunan Dumeling kang wonten Mungal, Sunan Pernoto kang wonten Poten, Sunan Perniti kang wonten Bejangan, lan Sunan Kusumo kang wonten kawah gunung Bromo. Sampune katur katura Dewo Pandhita Ratu".
Artinya untuk memperingati peristiwa korban ke hadapan Hyang Brahma pada bulan Kasada yang terjadi sejak dulu, maka mereka mempersembahkan hasil bumi kepada Sunan Dumeling di Mungal, Sunan Pernoto di Poten, Sunan Perniti di Bejangan, Sunan Kusumo di kawah gunung Bromo, serta mohon agar diteruskan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, Kasada juga menyimpan banyak nilai budaya. Upacara ini menjadi media spiritual bagi masyarakat Tengger untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur atas perlindungan serta berkah yang meningkatkan kesejahteraan mereka, terutama di bidang pertanian.
Kasada sekaligus menandai kuatnya kebersamaan dan kerukunan masyarakat Tengger, yang terlihat dari cara mereka bergotong royong mengumpulkan berbagai bahan untuk sesaji.
Tak hanya dilakukan masyarakat Tengger, upacara Kasada juga menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Bahkan, mereka yang bukan pemeluk agama Hindu turut hadir untuk menyaksikan jalannya ritual, sekaligus menikmati keindahan alam saat bulan purnama hingga matahari terbit.
Beberapa praktik kebudayaan masyarakat Jawa tersebut menunjukkan bagaimana langit selalu memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar fenomena astronomi. Harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta sekaligus dengan alam yang telah menghidupinya, selalu diingat dalam tradisi-tradisi malam purnama.
Tradisi yang masih hidup hingga saat ini menjadi simbol dari kehidupan antara manusia dan alam yang berjalan berdampingan. Spiritualitas masyarakat Jawa pada saat bulan purnama menunjukkan bagaimana mereka memahami semesta maupun memahami dirinya sendiri.
(hil/irb)











































