Asal-usul Suku Samin dan Perkembangannya di Bojonegoro

Asal-usul Suku Samin dan Perkembangannya di Bojonegoro

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Kamis, 27 Nov 2025 14:45 WIB
Warna-warni rumah warga Suku Samin Sambong Rejo di Blora
Rumah Suku Samin. Foto: Sudrajat/detikcom
Bojonegoro -

Asal-usul Suku Samin berakar dari ajaran Samin Surosentiko, tokoh yang mendirikan komunitas ini di Blora. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Samin bermigrasi dan banyak menetap di wilayah Bojonegoro akibat berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan politik pada masa itu.

Meski berpindah tempat, mereka tetap memegang teguh nilai-nilai luhur yang diajarkan leluhur. Ajaran tersebut terus diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga identitas Suku Samin tetap hidup hingga kini. Berikut penjelasan lengkap mengenai asal-usul serta ajaran yang dianut masyarakat Samin.

Asal Mula Suku Samin di Bojonegoro

Komunitas Samin lahir dari ajaran Saminisme, sebuah falsafah hidup yang dikenalkan Samin Surosentiko di Desa Ploso Kedhiren, Klopoduwur, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah sumber menyebut kemunculan ajaran ini terjadi pada 1890-an. Saat itu, masyarakat pribumi menunjukkan perlawanan terhadap aturan kolonial Belanda, terutama terkait kewajiban membayar pajak serta praktik eksploitasi tanah.

Ibu-ibu suku Samin Sedulur Sikep Sambong Rejo - Blora memainkan Gejog Lesung di Pendopo, Minggu (17/7/2022)Ibu-ibu suku Samin Sedulur Sikep Sambong Rejo - Blora memainkan Gejog Lesung di Pendopo, Minggu (17/7/2022) Foto: Sudrajat / detikcom

Akibat sikap perlawanan yang kuat ini, masyarakat Samin kemudian menarik diri dari kehidupan luar dan menjalani kehidupan yang lebih tertutup. Bahkan, tercatat bahwa hingga tahun 1970-an, sebagian kelompok masyarakat Samin baru mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.

ADVERTISEMENT

Ajaran Suku Samin yang Masih Dipegang Teguh

Samin Surosentiko mengajarkan prinsip hidup bernama Sedulur Sikep, yang hingga kini menjadi pedoman utama masyarakat Samin. Sedulur Sikep bermakna "orang yang baik dan jujur", mencerminkan karakter masyarakat Samin yang dikenal lugas, jujur, dan menjunjung kesederhanaan.

Ajaran Saminisme memiliki sejumlah pedoman, tuntunan, dan larangan yang harus diikuti. Pedoman ajaran ini tercatat dalam Kitab Kalimosodo. Selain itu, terdapat enam prinsip dasar sebagai tuntunan etika yang tidak boleh dilanggar berikut.

  • Drengki (berbuat fitnah)
  • Srei (serakah)
  • Panasten (mudah tersinggung)
  • Dawen (menuduh tanpa bukti)
  • Kemeren (iri hati)
  • Nyiyo Marang Sepodo (berbuat nista kepada sesama)
Warna-warni rumah warga Suku Samin Sambong Rejo di BloraWarna-warni rumah warga Suku Samin Sambong Rejo di Blora Foto: Sudrajat / detikcom

Masyarakat Samin juga memegang lima larangan dalam berinteraksi antarsesama, yaitu bedok (menuduh), colong (mencuri), penthil (mengambil barang yang menyatu dengan alam), jumput (mengambil barang yang seharusnya diperoleh di pasar), dan nemu wae ora keno (larangan mengambil barang temuan).

Selain itu, terdapat prinsip yang sangat dijunjung tinggi, yaitu bejok reyot iku dulure waton, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur, yang berarti tidak boleh menyia-nyiakan sesama manusia, siapapun mereka, selama mau dianggap sebagai saudara.

Bahasa, Kepercayaan, dan Kehidupan Sehari-hari Suku Samin

Dalam berkomunikasi, masyarakat Samin menggunakan bahasa Jawa lugu atau ngoko alus yang kadang bercampur dengan bahasa krama. Mereka meyakini bahwa alam merupakan figur "ibu" (biyung) yang harus dihormati, dijaga, dan tidak dirusak.

Dalam hal keyakinan, masyarakat Samin memeluk agama Adam, yakni kepercayaan yang mereka amalkan setiap pagi dan menjelang senja. Mereka juga memiliki keris sebagai senjata tradisional, serta rumah adat bernama Rumah Bekuk Lulang, yang mencerminkan kesederhanaan dan keakraban dengan lingkungan sekitar.

Kini, masyarakat Samin banyak tinggal di Blora (Jawa Tengah), Bojonegoro (Jawa Timur), serta kawasan Pegunungan Kendeng yang menjadi batas dua provinsi tersebut. Meski jumlahnya tidak sebanyak kelompok etnis lain, keberadaan mereka tetap menjadi bagian penting dari keragaman budaya Nusantara.

Tidak Menghindari Modernisasi

Walau memiliki tradisi kuat, masyarakat Samin tidak menolak modernisasi. Mereka justru terbuka dengan perkembangan teknologi dan pendidikan. Keberadaan listrik, komputer, handphone, dan perangkat elektronik lainnya dianggap membantu dalam mengakses informasi, terutama terkait pertanian dan pembangunan desa.

Begitu pula bidang pendidikan, mereka memandang sekolah sebagai jalan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, keterbukaan terhadap modernisasi tidak membuat mereka meninggalkan nilai leluhur. Mereka tetap menjaga budaya seperti kejujuran, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong.

Warna-warni rumah warga Suku Samin Sambong Rejo di BloraWarna-warni rumah warga Suku Samin Sambong Rejo di Blora Foto: Sudrajat / detikcom

Kuliner Khas Masyarakat Samin

Salah satu kuliner yang identik dengan masyarakat Samin adalah nasi tiwul. Makanan ini dibuat dari singkong yang dikupas, dikeringkan, lalu diolah menjadi butiran mirip nasi. Nasi tiwul menjadi alternatif pengganti nasi putih karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi.

Biasanya, nasi tiwul disajikan bersama baceman tahu dan tempe, urap sayur, ikan asin, serta sambal bawang, kombinasi sederhana namun mengenyangkan dan kaya cita rasa. Hingga sekarang, nasi tiwul menjadi bagian dari tradisi kuliner masyarakat Samin yang masih dipertahankan.

Hidangan makan siang suku Samin Sambong Rejo di BloraHidangan makan siang suku Samin Foto: Sudrajat / detikcom

Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads