Jejak Airlangga dan Kisah Arjunawiwaha di Goa Selomangleng Tulungagung

Jejak Airlangga dan Kisah Arjunawiwaha di Goa Selomangleng Tulungagung

Muhammad Faishal Haq - detikJatim
Kamis, 06 Nov 2025 02:00 WIB
peta tulungagung
PETA TULUNGAGUNG. Foto: Tangkapan layar
Tulungagung -

Goa Selomangleng di Dusun Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, menyimpan potongan kisah klasik Kakawin Arjunawiwaha yang diukir di dinding batunya. Meski tak sebesar candi-candi megah di Jawa, gua ini memiliki nilai sejarah, estetika, dan pendidikan yang tinggi.

Relief-relief yang tertata rapi di dalam ceruk menggambarkan adegan Arjuna bertapa, diuji, dan menerima anugerah. Secara tradisi, kisah ini dikaitkan dengan masa pemerintahan Raja Airlangga pada abad ke-11 Masehi.

Karena itu, Gua Selomangleng dipandang sebagai salah satu situs penting Hindu-Buddha di kawasan pegunungan kapur Tulungagung. Sayangnya, kondisi di lapangan cukup memprihatinkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Akses masih terbatas, petunjuk arah minim, dan jalur menuju lokasi belum tertata baik. Kurangnya literatur populer juga membuat banyak warga dan wisatawan belum mengenal makna gua ini.

Di sisi lain, sejumlah peneliti dan seniman telah mengangkat relief Selomangleng sebagai inspirasi karya, seperti batik lukis. Ini menunjukkan potensi besar gua tersebut sebagai sumber pendidikan budaya jika dikelola lebih serius.

Jejak Airlangga di Pegunungan Kendeng Selatan

Dalam jurnal Gaya Arsitektur Gua Selomangleng Tulungagung sebagai Pertapaan Masa Mataram Kuno Jawa Bagian Timur dan Muatan Pendidikannya karya Nainunis Aulia Izza, disebutkan bahwa Gua Selomangleng merupakan peninggalan masa pemerintahan Raja Airlangga.

Raja Mataram Kuno wilayah timur ini memerintah pada awal abad ke-11 (1019-1042 M). Gua Selomangleng dibangun dan difungsikan sebagai tempat suci atau pertapaan bagi para Rsi.

Keterkaitan gua ini dengan Airlangga diperkuat relief yang menghiasi dindingnya. Di Ceruk I terdapat pahatan yang menampilkan adegan-adegan dari Kakawin Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang dibuat pada masa pemerintahan Airlangga.

Kakawin itu menggambarkan perjalanan spiritual dan kepemimpinan sang raja, sehingga Gua Selomangleng dianggap bukan hanya tempat bertapa, tetapi monumen yang merepresentasikan kehidupan Airlangga.

Pertapaan ini diperuntukkan bagi para Rsi yang menjalani tahap kehidupan wanaprasta. Relief yang menggambarkan kisah Arjuna sarat pesan moral kepahlawanan, ketekunan, dan budi pekerti. Penelitian juga menunjukkan meski dibangun pada masa Airlangga, fungsi gua sebagai tempat suci berlanjut hingga zaman Majapahit.

Relief Arjunawiwaha

Relief Arjunawiwaha hanya ditemukan di dalam Ceruk I. Gaya pemahatannya termasuk high relief (relief tinggi), ciri khas gaya klasik tua. Figur-figur manusia digambarkan dalam ukuran besar dan tampak tiga dimensi.

Cerita pada relief ini dibaca dari sisi utara, lalu ke timur, dan berakhir di selatan. Setiap adegan dipisahkan oleh sekat kecil di bidang batu cekung, kemungkinan agar alur kisah lebih mudah dilihat dari posisi duduk di lantai ceruk.

Kisah dimulai di sisi utara, memperlihatkan Dewa Indra berunding di kahyangan (Relief 1) dan para bidadari turun menggoda Arjuna (Relief 2). Di sisi timur, tampak adegan inti ketika Arjuna yang sedang bertapa digoda dua bidadari (Relief 3).

Setelah lulus ujian, Arjuna digambarkan berhadapan dengan Batara Guru dan menerima senjata Pasopati (Relief 4). Cerita ditutup di sisi selatan, menggambarkan Arjuna duduk berdampingan dengan bidadari sebagai hadiah atas keberhasilannya (Relief 7).

Pemilihan potongan kisah ini selaras dengan fungsi gua sebagai tempat pertapaan. Fokusnya pada episode "Arjuna Bertapa" juga menggambarkan kehidupan Raja Airlangga.

Penggambaran Arjuna yang berpakaian sederhana ketika bertapa, berbeda dengan kemegahan Dewa Indra, menyampaikan pesan moral tentang pentingnya kesederhanaan dalam menuntut ilmu. Relief ini juga menanamkan nilai tentang perjuangan, budi pekerti, dan keutamaan hidup.

Gaya Arsitektur dan Struktur Fisik Gua

Arsitektur Gua Selomangleng mencerminkan gaya transisi antara Jawa Tengah (klasik tua) dan Jawa Timur. Ciri gaya klasik tua tampak pada teknik pahatan tinggi di Ceruk I dan bentuk figur tiga dimensi.

Namun, di mulut gua ditemukan gaya yang lebih muda, berciri masa Majapahit, seperti ukiran teratai yang muncul dari vas. Situs ini terdiri atas dua ceruk gua dan sebuah batur (altar) yang dipahat dari batu besar.

Bagian bawah batur masih menampilkan bentuk asli batu, tetapi dari samping terlihat berundak seperti punden prasejarah. Di dinding batur terdapat ukiran berbentuk palang Yunani (tapak dara) yang menandai kesuciannya.

Tata ruang gua juga disusun berdasarkan konsep tiga dunia dalam ajaran Hindu, khususnya dalam yoga tantris, sakala, sakala-niskala, dan niskala. Ceruk I relief menggambarkan sakala (alam nyata), batur di atasnya melambangkan sakala-niskala (alam peralihan), dan area tebing di belakang sebagai niskala (alam rohani).

Penataan ini menunjukkan bahwa arsitektur gua dirancang secara sadar untuk mendukung aktivitas spiritual para Rsi. Goa Selomangleng dapat disebut sebagai "naskah ruang" yang menulis kisah moral dan sejarah dalam bentuk pahatan batu.

Ia memuat fragmen Arjunawiwaha yang menunggu untuk dibaca lebih luas. Pelestarian yang melibatkan akademisi, pemerintah daerah, seniman, dan masyarakat akan menentukan apakah pesan bijak dari relief ini bisa kembali hidup sebagai sumber pembelajaran dan kebanggaan daerah.

Artikel ini ditulis oleh Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads