Gunung Bromo bukan hanya pemandangan alam yang memikat jutaan wisatawan setiap tahun. Di balik lautan pasir dan kabut senja yang dramatis, tersimpan legenda yang menjadi nadi budaya masyarakat Tengger.
Ialah kisah abadi tentang cinta, pengorbanan, dan kesetiaan, yakni legenda Roro Anteng dan Joko Seger. Legenda ini bukan sekadar dongeng rakyat, tetapi penjelasan spiritual yang menautkan identitas, ritual, dan sejarah komunitas yang hidup di sekitar kawah aktif Bromo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Legenda
Dilansir laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kisah ini bermula dari pasangan bangsawan yang hidup pada masa sulit. Roro Anteng diyakini sebagai keturunan bangsawan Kerajaan Majapahit.
Sementara Joko Seger adalah pemuda rakyat biasa yang dikenal saleh dan pekerja keras. Pasangan ini memohon kepada Sang Hyang Widhi, penunggu gunung, agar diberi keturunan.
Doa mereka dikabulkan dengan satu syarat berat. Jika dikaruniai banyak anak, maka anak bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo sebagai tanda kesetiaan dan penghormatan.
Sang waktu berjalan, mereka pun dikaruniai 25 anak. Namun, ketika tiba saatnya memenuhi janji, Roro Anteng dan Joko Seger dilanda kesedihan dan mencoba mengingkari syarat itu.
Gunung Bromo pun meletus dahsyat sebagai peringatan dari Sang Hyang Widhi. Anak bungsu mereka, Raden Kusuma, akhirnya rela berkorban demi keselamatan keluarga dan masyarakatnya. Dari kisah pengorbanan inilah lahir tradisi suci upacara Yadnya Kasada.
Makna dan Asal Nama Tengger
Dilansir laman Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, nama "Tengger" sendiri dipercaya berasal dari gabungan dua nama tokoh legendaris itu, yaitu Teng dari Roro Anteng dan Ger dari Joko Seger.
Penjelasan etimologis ini sering dijadikan dasar narasi yang menjelaskan identitas masyarakat lokal bahwa mereka adalah keturunan langsung dari pasangan suci tersebut. Bagi masyarakat Tengger, Gunung Bromo bukan sekadar fenomena geologis.
Gunung Bromo adalah gunung suci yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Setiap aktivitas ritual, seperti Kasada, dilakukan bukan hanya sebagai tradisi, tapi juga bentuk penghormatan kepada leluhur dan penjaga gunung.
Dari Legenda ke Tradisi
Secara geologis, lanskap Bromo yang kini meliputi lautan pasir (sea of sand) di dalam kaldera luas, serta puncak-puncak seperti Gunung Batok, Kursi, Widodaren, hingga Bromo sendiri, terbentuk akibat letusan purba dan aktivitas vulkanik yang intens.
Namun, bagi masyarakat Tengger, cerita rakyat dan sains berjalan berdampingan. Di mana, sisi yang satu menjelaskan asal topografi, sementara yang lain memberi makna spiritual pada tanah yang mereka huni.
Ritual Yadnya Kasada yang digelar setiap tahun pada bulan Kasada (sekitar bulan Juli-Agustus) merupakan wujud rasa syukur dan penghormatan terhadap kisah leluhur itu. Dalam upacara ini, warga Tengger naik ke puncak Bromo.
Di ana, mereka menabur sesaji ke kawah, berupa hasil panen, ternak, hingga bunga dan uang. Menurut Kemenparekraf, ritual ini mencerminkan dua makna utama, yaitu rasa syukur atas rezeki alam dan kesadaran atas pengorbanan yang menjadi fondasi tatanan sosial mereka.
Dilansir laman Kemendikbud, upacara Yadnya Kasada telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, karena dianggap merepresentasikan nilai-nilai luhur masyarakat Tengger, yaitu kesetiaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam.
Ritual ini juga menarik perhatian wisatawan dari seluruh dunia yang ingin menyaksikan harmoni antara tradisi dan lanskap vulkanik. Namun, di balik pesona wisata, legenda ini menyimpan pesan mendalam.
Pentingnya menjaga keseimbangan antara spiritualitas, alam, dan kehidupan manusia. Bagi pengelola wisata dan pengunjung, menghormati adat setempat dan memperhatikan keselamatan menjadi wujud nyata pelestarian budaya.
Pelajaran dari Legenda Bromo
Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari legenda ini? Pertama, mitos lokal sering kali memuat kebenaran budaya yang tak ternilai, mengajarkan identitas, norma, dan praktik sosial yang diwariskan turun-temurun.
Kedua, pengakuan atas nilai-nilai tersebut harus berjalan beriringan dengan perlindungan lingkungan dan keselamatan publik. Dan ketiga, ketika legenda bertemu pariwisata, peluang ekonomi harus dikelola tanpa mengikis esensi spiritual yang membuat Gunung Bromo tetap istimewa.
Legenda Roro Anteng dan Joko Seger bukan hanya kisah lama yang diceritakan ulang, tetapi napas yang terus menghidupi masyarakat Tengger dan menjadikan Gunung Bromo lebih dari sekadar destinasi wisata, ia adalah pertemuan antara alam, budaya, dan keyakinan.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(irb/hil)












































