Di Sumenep, Madura bagian timur, masih hidup sebuah tradisi yang menandai keberanian dan kehormatan leluhur, yaitu Keris Aeng Tong Tong. Meski zaman terus berubah dan budaya modern kian menguasai ruang, pusaka ini tetap dijaga sebagai simbol kebanggaan masyarakat setempat.
Bukan sekadar bilah besi berornamen, keris ini dipandang sebagai simbol keberanian dan identitas lokal. Keris Aeng Tong Tong dipakai dalam upacara adat, dijaga sebagai pusaka keluarga, dan dijadikan rujukan moral oleh komunitas setempat.
Keunikan bentuk, filosofi ukiran, serta ritual yang mengiringinya membuat Aeng Tong Tong berbeda dari keris-keris lain. Menurut tradisi lokal, Aeng Tong Tong bukan hanya senjata adat, tetapi penanda status sosial dan keberanian pemiliknya dalam menghadapi pergolakan. Lalu, bagaimana asal-usul dan makna historis di baliknya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul dan Makna Historis
Asal-usul Keris Aeng Tong Tong tidak dapat dilepaskan dari jejak sejarah dan kepercayaan masyarakat Desa Aeng Tong Tong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep.
Dikutip dari buku dengan judul "Asal Usul & Karakteristik Keris Sumenep" oleh (Herli & Purwanto, 2022), tradisi pembuatan keris di wilayah ini diyakini telah ada sejak masa Pangeran Bukabu, seorang tokoh penting yang dianggap sebagai pembabat alas pertama dan pendiri awal wilayah Aeng Tong Tong.
Jejak sejarah keberadaan Pangeran Bukabu diketahui dari artefak batu nisan kuno yang ditemukan di kawasan pemakaman desa. Batu nisan tersebut memuat aksara pra-Latin yang diperkirakan berasal dari abad ke-13, sekitar tahun 1224-1248 Masehi, menunjukkan kesesuaian waktu dengan masa hidup Pangeran Bukabu.
Pangeran Bukabu diyakini pernah mengasingkan diri ke daerah Aeng Tong Tong untuk bertapa dan mencari ketenangan spiritual. Di masa pengasingannya, ia diduga memanggil beberapa kerabat dan pengikutnya untuk membuat keris sebagai simbol perlindungan, keberanian, dan penjaga kehormatan diri.
Tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun menyebut keris pertama Aeng Tong Tong dibuat di timur desa, tidak jauh dari lokasi makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan Pangeran Bukabu. Setelah masanya berakhir, pembuatan keris diteruskan keturunannya dan berkembang menjadi keahlian kolektif masyarakat desa.
Kisah rakyat menyebut raja-raja Sumenep pada masa berikutnya mempercayakan perawatan pusaka kepada penduduk Aeng Tong Tong. Pusaka kerajaan, seperti Juk Addul dan Sa Pette, disebut-sebut dirawat para empu (pembuat keris) di desa ini, menandakan kepercayaan besar terhadap kemampuan dan kesakralan masyarakat.
Dari sisi makna historis, Keris Aeng Tong Tong bukan hanya simbol pertahanan diri, melainkan lambang hubungan spiritual antara manusia, leluhur, dan tanah kelahiran. Ia mewakili kontinuitas tradisi Islam-Madura yang menyatukan nilai kesetiaan, keberanian, dan kehormatan.
Pola pewarisan keris di Sumenep, selain diwariskan melalui garis keturunan, keris kerap diberikan sebagai tanda pengukuhan jabatan adat atau ungkapan terima kasih setelah seseorang menuntaskan tugas penting. Dengan demikian, makna keris melampaui fungsi benda pusaka semata, menjadi medium nilai-nilai sosial.
Hingga kini, keberadaan artefak, kisah rakyat, dan praktik pembuatan keris menjadi bukti bahwa Aeng Tong Tong bukan sekadar desa perajin, melainkan pusat warisan budaya yang menghubungkan masa lalu kerajaan dengan identitas masyarakat Madura masa kini.
Teknik Pembuatan Keris Aeng Tong-Tong
Keris Aeng Tong Tong dikenal bukan hanya karena nilai historis dan spiritualnya, tetapi karena teknik pembuatan dan material khas yang menunjukkan keunikan tradisi empu Madura.
Proses pembuatan keris Aeng Tong-Tong masih mempertahankan metode tempa tangan kuno yang diwariskan secara turun-temurun. Tidak ada mesin modern yang digunakan, seluruh tahapan dikerjakan secara manual dengan mengandalkan keterampilan, kesabaran, dan intuisi sang empu.
Proses pembuatan biasanya dimulai dari pemilihan bahan logam yang terdiri atas baja lokal, besi nikel, dan kadang bahan tambahan seperti meteorit atau baja impor yang dianggap memiliki karakter "dingin" dan kuat.
Bahan-bahan tersebut kemudian ditempa berlapis-lapis untuk membentuk bilah keris, sebuah teknik yang menghasilkan pola pamor khas. Pamor ini merupakan guratan alami akibat perpaduan logam yang berbeda kadar karbonnya.
Setiap empu memiliki rahasia tersendiri dalam menentukan komposisi dan suhu pemanasan logam. Pasalnya, suhu yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi warna, kekuatan, serta keindahan motif pamor.
Ciri Khas Material Keris Aeng Tong-Tong
Dari segi visual, keris Aeng Tong Tong memiliki ciri lekukan (luk) yang beragam, mulai dari bilah lurus hingga 13 luk, bergantung pada fungsi dan simbolisme yang diinginkan. Motif pamornya banyak terinspirasi dari alam pesisir Madura, seperti bentuk ombak, flora, dan pola spiral yang melambangkan keseimbangan hidup.
Sementara itu, gagang (ukiran hulu) keris sering dihiasi dengan ornamen khas Madura, seperti sulur tanaman atau bentuk kepala burung, yang mencerminkan keterikatan masyarakat setempat dengan lingkungan laut dan pertanian.
Menariknya, proses pembuatan keris di Aeng Tong Tong tidak sekadar kegiatan teknis, melainkan mengandung unsur spiritual. Berdasarkan wawancara dengan para perajin senior, setiap empu selalu memulai pekerjaan dengan doa khusus dan ritual kecil.
Ada pantangan makanan yang harus dihindari seperti tidak makan daging sapi selama masa pembuatan, dan penentuan hari baik berdasarkan penanggalan Jawa-Madura. Semua ini diyakini mempengaruhi "roh" atau "jiwa" yang terkandung dalam keris.
Kombinasi antara ketelitian teknik, pemilihan bahan berkualitas, dan ritual spiritual menjadikan setiap keris di Aeng Tong Tong unik, tidak ada yang benar-benar sama satu dengan lainnya.
Nilai autentik inilah yang membuat keris dari desa ini dikenal luas, baik di kalangan kolektor nasional maupun internasional. Keris Aeng Tong Tong menjadi mahakarya empu Madura yang menyatukan keindahan seni, kekuatan logam, dan kedalaman spiritual.
Fungsi Sosial dan Ritual Kontemporer
Hasil pengamatan terhadap berbagai acara adat menunjukkan bahwa Keris Aeng Tong Tong masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumenep. Hingga kini, pusaka ini tetap berfungsi dalam tiga ranah utama yang merefleksikan kedalaman nilai sosial dan budaya setempat.
- Ritual religius-adat (seperti pelantikan adat, pernikahan bangsawan lokal).
- Simbol status pada upacara komunitas.
- Objek koleksi serta identitas budaya di pameran dan festival.
Perubahan sosial mendorong keris juga tampil dalam konteks pariwisata budaya, beberapa keluarga memamerkan pusaka mereka sebagai daya tarik heritage bagi pengunjung.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(irb/hil)








































.webp)













 
             
             
  
  
  
  
  
  
 