Asal-usul Bojonegoro yang Lahir dari Kadipaten Jipang

Asal-usul Bojonegoro yang Lahir dari Kadipaten Jipang

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Senin, 13 Okt 2025 15:15 WIB
HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO.
HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO. Foto: Gavriel Rama Evantya/detikJatim
Bojonegoro -

Kabupaten Bojonegoro, wilayah yang dikenal kaya akan budaya dan sumber daya alam di Jawa Timur, memiliki sejarah panjang yang berawal dari sebuah kadipaten bernama Jipang.

Setiap tanggal 20 Oktober, masyarakat Bojonegoro memperingati hari jadi kabupaten-momen yang tak hanya dirayakan sebagai tradisi tahunan, tetapi juga sebagai pengingat akan jejak sejarah yang melahirkan identitas daerah ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terletak di ujung barat Jawa Timur, Bojonegoro berbatasan langsung dengan Blora di Jawa Tengah. Sementara di bagian timur, Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Lamongan dan Nganjuk. Sisi selatan berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, Madiun, dan Ngawi.

Bojonegoro dikenal sebagai "Kota Ledre", serta memiliki potensi besar di sektor migas dan kayu jati. Dari akar sejarahnya hingga kini, Bojonegoro terus tumbuh menuju kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

ADVERTISEMENT

Sejarah Kabupaten Bojonegoro

Sejarah Bojonegoro berawal dari era pra-kabupaten, di mana kawasan ini dikenal sebagai Jipang sejak abad ke-13 Masehi, meliputi wilayah Bojonegoro, sebagian selatan Blora, dan Tuban. Pusat pemerintahannya sempat berpindah-pindah, dari Jipang Panolan, Padangan, hingga Rajekwesi.

Pada perkembangannya, wilayah Jipang yang kala itu berbentuk kadipaten dikuasai Kerajaan Mataram. Namun, setelah Mataram terdesak dan kalah dalam peperangan, mereka terpaksa menyerahkan wilayah pantai utara Jawa, termasuk Jipang, kepada VOC (Kompeni Belanda) melalui perjanjian politik.

Momen bersejarah tersebut terjadi pada 20 Oktober 1677. Pada tanggal ini, Belanda secara resmi mengubah status Jipang dari kadipaten menjadi sebuah kabupaten. Wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Tumapel (atau Pangeran Mas Toemapel), ditunjuk sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang.

Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro (HJB). Pusat pemerintahan kabupaten yang awalnya strategis di Padangan (di tepi Bengawan Solo) kemudian dipindahkan.

Atas perintah Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1725, Bupati Jipang ke-3, Raden Tumenggung Haria Matahun I memindahkan pusat pemerintahan ke desa Rajekwesi. Sejak perpindahan ini, nama kabupaten pun turut berganti menjadi Kabupaten Rajekwesi.

Pada masa Rajekwesi, terjadi gejolak politik besar, terutama setelah pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta pada 1755 akibat politik Devide et Impera Belanda, yang mana Rajekwesi diduga sempat memiliki keterkaitan dengan wilayah Kasultanan Yogyakarta.

Di masa penjajahan, Rajekwesi sempat dikuasai Inggris (1811-1816) yang menyebabkan bupati saat itu, R Prawirosentiko, memilih mundur. Namun, perlawanan terbesar terjadi saat Perang Diponegoro (1825-1830).

Pada 1827, Raden Tumenggung Sosrodilogo, seorang pembantu dekat Pangeran Diponegoro, memimpin perlawanan yang berhasil mengusir serdadu Belanda, membebaskan narapidana, dan membakar gedung-gedung pemerintahan. Kekosongan kekuasaan ini membuat Sosrodilogo diangkat masyarakat sebagai bupati.

Namun, kemenangan tersebut tidak bertahan lama. Pada 2 Januari 1828, pasukan gabungan Belanda berhasil merebut kembali Rajekwesi. Setelah Sosrodilogo menyerah pada 3 Oktober 1828, bupati sebelumnya, Raden Adipati Djojonegoro, kembali diangkat pemerintah Belanda.

Untuk merayakan kembalinya kekuasaan, Bupati Djojonegoro mengganti nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro pada tahun 1828. Nama ini berasal dari kata bojo/boja (bersenang-senang/pesta) dan negoro (negara).

Nama ini diartikan sebagai "negara yang bersenang-senang" atau "berpesta" sebagai simbol kemenangan dan pemulihan kekuasaan Belanda. Dengan demikian, meskipun nama Bojonegoro baru lahir di tahun 1828, tanggal 20 Oktober 1677, tetap menjadi tonggak sejarah administrasi kabupaten yang dihormati.

Daftar Nama Bupati Bojonegoro dari Masa ke Masa

Untuk memahami perjalanan administratif Bojonegoro, penting untuk menelusuri para pemimpin yang pernah menjabat. Berikut daftar lengkap nama bupati Bojonegoro dari masa ke masa, dimulai sejak nama Bojonegoro ditetapkan pada tahun 1828 hingga pemimpin terkini.

  • R Adipati Djojonegoro (1828-1844)
  • R Adipati Tirtonoto I (1844-1878)
  • R M Tumenggung Tirtonoto II (1878-1888)
  • R M Sosrokusumo (1888-1890)
  • R Adipati Aryo Reksokusumo (1890-1916)
  • R Adipati Aryo Kusumoadinegoro (1916-1936)
  • R Dradjat (1936-1937)
  • R Tumenggung Achmad Surjodiningrat (1937-1943)
  • R Tumenggung Oetomo (1943-1945)
  • R Tumenggung Sudiman Hadiatmodjo (1945-1947)
  • Mas Surowijono (1947-1949)
  • R Tumenggung Sukardi (1949-1950)
  • R Sundaru (1950-1951)
  • Mas Kusno Suroatmodjo (1951-1955)
  • R Baruno Djojoadikusumo (1955-1959)
  • R Soejitno (1959-1960)
  • R Tamsi Tedjo Sasmito (1960-1968)
  • Letkol Inf (Purn.) Sandang (1968-1973)
  • Kolonel Inf (Purn.) Alim Sudarsono (1973-1978)
  • Drs. Soeyono (1978-1983)
  • Drs. Soedjito (1983-1988)
  • Drs. H. Imam Soepardi (1988-1998)
  • Drs. H. Atlan (1998-2003)
  • Kolonel Inf (Purn.) H. Mohammad Santoso (2003-2008)
  • Drs. H. Suyoto, M.Si. (2008-2018)
  • Dr. Hj. Anna Mu'awanah (2018-2023)
  • Adriyanto, S.E., M.M., M.A., Ph.D. (2023-2024)
  • H. Setyo Wahono (2025)

Budaya dan Ciri Khas Kabupaten Bojonegoro

Bojonegoro tidak hanya dikenal sebagai kota dengan sejarah panjang dan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga kaya budaya dan ciri khas yang melekat dalam kehidupan masyarakatnya.

Dari kesenian tradisional hingga kuliner khas, setiap sisi Bojonegoro mencerminkan identitas lokal yang unik dan terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Berikut beberapa budaya dan ciri khas yang dimiliki Bojonegoro.

1. Wayang Thengul dan Tari Thengul

Kesenian yang menjadi ikon Kabupaten Bojonegoro adalah Wayang Thengul. Wayang ini berupa boneka kayu tiga dimensi. Kata thengul berasal dari kata methentheng (tenaga ekstra) dan methungul (muncul/terlihat).

Penamaan wayang ini merujuk pada upaya dalang saat mengangkat boneka kayu tersebut. Inspirasi dari wayang ini melahirkan tari Thengul, tarian khas yang lembut namun tegas, sering dipentaskan sebagai tari penyambutan.

2. Masyarakat Samin

Bojonegoro juga dikenal sebagai salah satu wilayah tempat berdiamnya masyarakat Samin (Sedulur Sikep), yang terkenal dengan ajaran kesederhanaan, kejujuran, dan penolakan terhadap peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan nurani.

3. Kuliner dan Produk Unggulan

Bojonegoro memiliki julukan "Kota Ledre" karena Ledre, sejenis keripik pisang tipis manis, menjadi makanan khasnya. Selain itu, Bojonegoro dikenal sebagai "Kota Minyak dan Kayu Jati" karena potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) serta hutan jati yang melimpah. Objek wisata unik lainnya adalah Kayangan Api, sumber api abadi yang tak pernah padam.

Bojonegoro memiliki julukan "Kota Ledre", karena Ledre, sejenis keripik pisang tipis dan manis, menjadi makanan khas yang identik dengan daerah ini. Camilan tradisional ini tidak hanya populer di kalangan masyarakat lokal, tetapi menjadi simbol kebudayaan kuliner Bojonegoro yang terus dilestarikan.

Selain itu, Bojonegoro dikenal sebagai "Kota Minyak dan Kayu Jati", berkat potensi sumber daya alamnya berupa minyak dan migas serta hutan jati yang melimpah. Bojonegoro memiliki objek wisata unik Kayangan Api, sebuah sumber api abadi yang tak pernah padam, menjadi daya tarik dan simbol keajaiban alam daerah ini.

Kini, di usianya yang ke-348, Bojonegoro terus menapaki perjalanan sebagai daerah yang memadukan kekayaan sejarah, sumber daya alam, dan semangat masyarakatnya untuk maju. Hari jadi bukan hanya peringatan masa lalu, tapi juga pengingat akan jati diri yang terus hidup di setiap generasi Bojonegoro.

Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads