Musik Tong-Tong, Warisan Budaya Madura yang Terus Berdentang di Sumenep

Musik Tong-Tong, Warisan Budaya Madura yang Terus Berdentang di Sumenep

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Senin, 13 Okt 2025 12:30 WIB
Festival Musik Tong Tong se-Madura di Kabupaten Sumenep
Festival Musik Tong-Tong. Foto: Ahmad Rahman/detikJatim
Sumenep -

Musik Tong-Tong merupakan salah satu warisan budaya khas Madura yang hingga kini tetap hidup dan berkembang, terutama di Kabupaten Sumenep. Suara dentangan khasnya yang berirama dinamis sering terdengar dalam berbagai acara, mulai dari ronda malam hingga festival kebudayaan.

Menurut data Warisan Budaya Kemendikbud, alat musik tong-tong telah dikenal sejak lama di wilayah Batuputih dan Ambuten, Sumenep. Pada masa awal, alat ini disebut sebagai "kenthongan bambu bercelah" dengan berbagai nama lokal seperti kulkul, titir, atau gulgul.

Awalnya, tong-tong berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional masyarakat desa. Seiring waktu, alat musik tong-tong berkembang menjadi media hiburan dan pertunjukan musik rakyat yang sarat makna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Musik Tong-tong di Sumenep

Secara historis, istilah "tong-tong" berasal dari bunyi khas yang dihasilkan alat musik bambu ketika dipukul "tong... tong...". Dalam budaya Madura, istilah ini tidak hanya mengacu pada satu alat musik, melainkan mencakup seluruh kelompok pemain yang memainkannya dalam bentuk orkes rakyat.

Sebelum dikenal sebagai hiburan masyarakat, tong-tong memiliki fungsi sosial yang penting. Pada masa Hindu, kentongan besar digunakan sebagai penanda bahaya, terutama saat terjadi Gerhana Bulan yang dianggap membawa kesialan. Bunyi keras tong-tong dipercaya mampu menolak bala dan membangunkan warga desa.

ADVERTISEMENT

Memasuki masa kolonial, fungsi tong-tong bergeser menjadi alat ronda malam. Petugas keamanan desa atau patroli kaleleng menggunakan kentongan bambu untuk menandai waktu atau memperingatkan bahaya. Dari tradisi ini muncul arak-arakan ronda yang diiringi irama kentongan, cikal bakal lahirnya orkes musik tong-tong.

Seiring berjalannya waktu, tong-tong mengalami transformasi fungsi. Pada bulan Ramadan, alat musik ini digunakan untuk membangunkan sahur. Irama yang semula berfungsi praktis kini berkembang menjadi ekspresi musikal anak muda Madura.

Ritme yang rancak dan dinamis menjadikan tong-tong sebagai media hiburan sekaligus simbol kebersamaan. Pemerintah Kabupaten Sumenep pun menjadikan musik tong-tong sebagai ikon budaya daerah. Sejak tahun 2013, digelar Festival Musik Tong-Tong setiap perayaan hari ulang tahun Kabupaten Sumenep.

Dalam festival tersebut, para pemain dari berbagai daerah di Madura menampilkan kreativitas dengan menggabungkan unsur tradisional dan modern. Suara pukulan tong-tong berpadu dengan alat musik tambahan seperti drum, simbal, dan terompet, menghasilkan harmoni unik yang mencerminkan semangat masyarakat.

Tak hanya menjadi hiburan, festival ini juga memberi dampak ekonomi positif. Banyak pelaku UMKM, pedagang kaki lima, hingga perajin alat musik yang ikut merasakan manfaat dari ramainya kegiatan tersebut. Tong-tong telah menjadi bagian penting dari ekonomi kreatif daerah.

Festival Musik Tong Tong se-Madura di Kabupaten SumenepFestival Musik Tong Tong se-Madura di Kabupaten Sumenep Foto: Ahmad Rahman/detikJatim

Musik Tong-Tong Sarana Pemberdayaan Ekonomi

Dikutip dari penelitian "Musik Tongtong sebagai Pemberdayaan Ekonomi dan Identitas Lokal Masyarakat Madura" (Nugroho, 2021), perkembangan tong-tong menunjukkan perubahan fungsi dari alat komunikasi tradisional menjadi inovasi sosial dan ekonomi masyarakat Sumenep.

Pada masa kolonial, tong-tong berawal dari kebiasaan peronda yang berinovasi untuk menghilangkan kejenuhan saat bertugas malam. Berdasarkan teori kebutuhan dasar Malinowski, perubahan fungsi kentongan menjadi alat musik tong-tong terjadi karena dorongan manusia untuk mencari kepuasan emosional dan sosial.

Dari sekadar alat komunikasi keamanan, tong-tong berkembang menjadi media ekspresi dan hiburan rakyat. Transformasi ini berlanjut hingga era modern melalui penyelenggaraan Festival Musik Tong-Tong, yang tidak hanya berfungsi sebagai ajang pelestarian budaya, tetapi sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.

Festival tersebut melibatkan berbagai kelompok musik dari dalam dan luar Madura, sekaligus membuka peluang bagi pelaku UMKM, pedagang, dan sektor pariwisata. Melalui festival tahunan ini, musik tong-tong menjadi instrumen promosi pariwisata Sumenep dan sumber profit bagi masyarakat sekitar.

Menurut teori inovasi sosial Linton, perubahan fungsi tong-tong menjadi bentuk ul-daul (orkes modern khas Madura) menunjukkan proses kreatif dan adaptif masyarakat terhadap perubahan zaman. Melalui inovasi tersebut, masyarakat Madura berhasil mempertahankan identitasnya tanpa kehilangan akar budaya.

Pemerintah Kabupaten Sumenep memanfaatkan momentum ini untuk membangun citra positif masyarakat Madura sebagai komunitas kreatif, harmonis, dan terbuka terhadap modernisasi budaya.

Pada Festival Musik Tong-Tong ke-750 tahun 2019, Bupati Sumenep saat itu, Busyro Karim, sempat menegaskan nilai filosofis di balik kesenian ini. Ia menyebut bahwa musik tong-tong mencerminkan jati diri masyarakat Madura yang menjunjung tinggi kebersamaan, semangat, dan kekompakan.

"Berbanggalah memiliki budaya yang unik dan tak tergantikan ini, karena menjadi identitas serta jati diri masyarakat Madura. Bukan soal menang atau kalah, tetapi bagaimana kita menjaga agar tradisi, budaya, dan kesenian Madura tetap hidup dan lestari sepanjang waktu," ujar Busyro.

Kini, musik tongtong bukan hanya hiburan rakyat, melainkan identitas lokal yang menguatkan citra positif masyarakat Madura. Dari kentongan bambu sederhana, tong-tong tumbuh menjadi simbol solidaritas, kreativitas, dan semangat gotong royong masyarakat Sumenep yang terus berdentang lintas generasi.

Festival musik tong tongParade musik tong tong di Sumenep Foto: Ahmad Rahman/detikJatim

Cara Membuat Alat Musik Tong-Tong

Dentuman khas tong-tong tak lepas dari proses pembuatannya yang penuh ketelatenan. Setiap bagian alat ini dibuat dengan memperhatikan karakter bunyi dari bahan yang digunakan, agar menghasilkan suara yang khas dan berirama kuat. Berikut tahapan pembuatan alat musik tong-tong.

1. Menyiapkan Bahan Utama

Tong-tong tradisional terbuat dari bambu besar atau kayu nangka dan kelapa yang dipotong menyerupai tabung. Pada masa kini, beberapa pembuat juga memanfaatkan tong bekas minyak atau drum logam sebagai pengganti bahan kayu, karena menghasilkan suara lebih nyaring dan kuat.

2. Membentuk Badan Tong-Tong

Bagian luar bambu dibersihkan, sementara bagian dalamnya dihaluskan agar suara tidak teredam. Salah satu sisi tabung dibiarkan terbuka sebagai resonator, sedangkan sisi lain ditutup sebagian dengan kulit kambing, karet ban, atau papan kayu tipis yang berfungsi sebagai membran penghasil bunyi.

3. Pemasangan Membran dan Pengikat

Kulit atau karet yang digunakan sebagai penutup dipasang rapat di ujung tabung. Biasanya diikat dengan tali rotan, kawat, atau paku agar tidak mudah lepas saat dipukul. Proses ini penting karena menentukan kualitas suara dan nada yang dihasilkan.

4. Penalaan dan Percobaan Bunyi

Setelah semua bagian terpasang, permukaan dipukul dengan tangan atau alat pemukul dari kayu (palu kayu kecil). Pembuat akan mencoba beberapa kali hingga menemukan resonansi suara yang diinginkan, biasanya bunyi "tong" yang dalam dan menggema.

5. Pewarnaan dan Finishing

Tahap terakhir adalah menghias permukaan tong-tong dengan cat warna mencolok seperti merah, kuning, atau hitam. Beberapa kelompok musik rakyat menambahkan ornamen khas Madura, seperti motif batik, ukiran kerapan sapi, atau tulisan nama grup.

Kini, musik tong-tong telah menjelma menjadi warisan budaya yang tidak hanya memperkaya khasanah seni tradisional Indonesia, tetapi juga menghidupkan denyut ekonomi dan pariwisata Sumenep.

Dengan semangat gotong royong dan kreativitas masyarakat Madura, dentuman tong-tong akan terus berdentang, menandakan bahwa warisan budaya ini tetap hidup, lestari, dan relevan di tengah perubahan zaman.

Artikel ini ditulis oleh Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads