Topeng Jabung Malangan, Warisan Seni dan Kenangan Mbah Misdi

Topeng Jabung Malangan, Warisan Seni dan Kenangan Mbah Misdi

Muhammad Faishal Haq - detikJatim
Kamis, 25 Sep 2025 16:45 WIB
Padepokan Asmoro Bangun terus melestarikan budaya Topeng Malangan. Selain memberikan pelatihan tari, padepokan itu juga memproduksi topeng tersebut. Yuk kita intip pembuatannya.
ILUSTRASI TOPENG MALANGAN. Foto: Hasan Al Habshy
Malang -

Di balik gemerincing gamelan dan gerak anggun para penari, topeng Jabung Malangan menyimpan kisah panjang tentang tradisi seni yang lestari di Malang. Lebih dari sekadar pertunjukan rakyat, kesenian ini menjadi simbol identitas budaya yang diwariskan lintas generasi.

Salah satu sosok penting yang menjaga napas kesenian ini adalah Mbah Misdi. Maestro Topeng Jabung Malangan ini telah wafat, namun jejak dan pengabdiannya masih dikenang sebagai penjaga tradisi yang nyaris pudar.

Topeng Malangan bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan warisan ritual, cerita, dan filosofi masyarakat yang berakar jauh ke masa lampau. Sejarawan dan peneliti menempatkan kesenian ini sebagai bagian penting dari tradisi wayang topeng yang berkembang di wilayah Malang. Di dalamnya berpadu kisah Panji, Ramayana, Mahabharata, hingga legenda-legenda lokal yang terwujud dalam rupa topeng dan gerak tari para penampilnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Topeng Malangan

Dilansir dari laman resminya, topeng Malangan adalah warisan budaya Malang yang berakar pada tradisi leluhur sejak masa Kerajaan Kanjuruhan. Sekitar tahun 760 Masehi, Prabu Gajayana telah menggunakan topeng emas Sangyang Puspo Sariro dalam upacara Serada untuk menghormati ayahandanya, Raja Dewasima.

Pada masa Majapahit, kesenian ini berkembang pesat dan tak hanya berfungsi dalam ritual, tetapi juga menjadi bagian penyambutan tamu negara. Cerita Panji pun mulai populer dan menyebar ke berbagai wilayah Asia Tenggara. Di Malang, kejayaan topeng Malangan mencapai puncaknya era Bupati Raden Suringrat pada 1890.

ADVERTISEMENT

Para pejabat diwajibkan menguasai tarian topeng, sementara tokoh-tokoh saat itu seperti Mbah Condro dan Gurawan menyebarkannya ke berbagai daerah, dari Jabung hingga Sumberpucung. Kesenian ini lebih banyak mengangkat kisah Panji, meski masyarakat juga mengenal cerita Purwa seperti Mahabharata.

Pada masa lalu, nilai seni topeng sangat tinggi, satu topeng bahkan bisa ditukar dengan seekor sapi, dan pada abad ke-10, dihias emas serta permata sebagai lambang status. Sayangnya, penjajahan membuat banyak topeng kuno hilang atau rusak.

Kini, meski koleksi kuno tersebar hingga ke Belanda, tradisi Topeng Malangan tetap hidup dan menjadi simbol kekayaan budaya Jawa Timur. Di tengah upaya pelestarian inilah, lahir para penjaga tradisi seperti Mbah Misdi, maestro Topeng Jabung Malangan yang jejak pengabdiannya akan terus dikenang.

Mbah Misdi, Maestro dan Penjaga Tradisi

Di sebuah rumah sederhana di Jalan Anjasmoro, Desa Jabung, sosok Mbah Misdi dikenal sebagai guru tari Topeng Malangan yang sabar dan murah senyum. Lahir sekitar tahun 1954, ia sejak muda sudah menekuni seni tari topeng dan mulai menularkan ilmunya kepada generasi muda tanpa kenal lelah.

Mbah Misdi sering dipanggil sebagai "seniman sepuh Topeng Jabung" karena dedikasinya menjaga gaya dan karakter khas Jabung dalam topeng. Ia tetap mengajar, melatih, dan berbagi ilmu meski dalam kondisi ekonomi sederhana. Ia pernah menjabat sebagai pengajar tari di STKW Surabaya selama sekitar 25 tahun.

Meski ia pernah menerima penghargaan atas dedikasinya, misalnya piagam dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2016, perhatian dari pemerintah desa atau kecamatan setempat sangat minim. Ia bahkan sempat mengeluhkan piagam penghargaan yang diterimanya tidak segera diserahkan meski sudah janji difotokopi.

Dalam komunitas Topeng Jabung, Mbah Misdi menjadi sosok yang dianggap sebagai penjaga ilmu dan gaya tradisional. Namanya sering disebut sebagai sosok sepuh yang diundang sebagai pemateri atau narasumber dalam kegiatan kebudayaan.

Kini, Mbah Misditelah berpulang. Lewat unggahan di Instagram, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) menyampaikan belasungkawa sekaligus terima kasih atas warisan tak ternilai yang ia titipkan.

Kepergiannya mengingatkan pada deretan maestro Topeng Malangan yang telah lebih dulu berpulang, seperti Mbah Karimun dan tokoh legendaris lainnya. Mereka semua pernah berjuang mempertahankan kesenian ini di tengah keterbatasan ekonomi dan perubahan selera publik.

Cerita-cerita tentang perjuangan para maestro itu kini menjadi pembelajaran berharga bagi generasi muda, menjaga tradisi menuntut pengorbanan, keteguhan, dan komitmen kolektif. Wafatnya Mbah Misdi juga menegaskan warisan budaya tidak akan terpelihara oleh satu dua orang.

Diperlukan kebijakan publik yang konsisten, anggaran pelestarian, program regenerasi, serta apresiasi masyarakat. Kenangan atas nama-nama besar seperti Mbah Misdi dan Mbah Karimun seharusnya menjadi momentum untuk menguatkan pelestarian budaya.

Seni Topeng Malangan tetap hidup dalam setiap topeng yang diukir, setiap gerak yang dipelajari, dan setiap kisah Panji yang diceritakan ulang. Wafatnya Mbah Misdi menjadi kehilangan besar bagi dunia seni tradisi, tetapi sekaligus pengingat bahwa warisan ini harus terus dijaga agar tetap bernapas.

Jika tidak, yang hilang bukan hanya sosoknya, melainkan suara, gerak, dan cerita yang telah lama menjadi bagian dari identitas Malang. Kenangan atas Mbah Misdi seharusnya menjadi pemantik semangat untuk merawat Topeng Malangan agar tetap hidup lintas generasi.

Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads