Nama Gunung Kawi telah lama menjadi sinonim dengan praktik pesugihan, sebuah ritual mistis yang konon menawarkan kekayaan instan dengan imbalan yang mengerikan. Selama bertahun-tahun, tempat ini diselimuti aura gaib, menarik perhatian banyak orang yang mencari jalan pintas menuju kemakmuran.
Meskipun para juru kunci dan pihak pengelola menegaskan bahwa tempat ini adalah lokasi ziarah, narasi tentang pesugihan tetap menjadi daya tarik misterius yang tak lekang oleh waktu. Apa saja yang menjadi misteri utama di balik kepercayaan ini?
Baca juga: 5 Rekomendasi Wisata Religi di Malang |
Tumbal 'Wedhus Kendit'
Merangkum pemberitaan detikJatim, salah satu elemen paling terkenal dari mitos pesugihan Gunung Kawi adalah penggunaan "wedhus kendit" sebagai tumbal. Kambing ini memiliki ciri khas berupa corak berwarna putih melingkar di bagian perutnya, yang menyerupai sabuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konon, kambing ini adalah syarat utama dalam ritual tertentu untuk mendapatkan kekayaan atau jabatan. Ritual ini disebut-sebut dilakukan pada malam-malam keramat seperti malam Jumat Legi atau malam 1 Suro, dengan biaya yang tidak sedikit.
Praktik ini dipercaya melibatkan sosok pemandu spiritual yang disebut "pangoyeg". Di mana, pangoyeg dipercaya memiliki kekuatan untuk memperantarai permintaan manusia dengan entitas gaib.
Perjanjian Mematikan, Harta Dibalas Nyawa
Kepercayaan akan adanya pesugihan tak lepas dari pemahaman "harta dibalas nyawa". Mitos yang beredar di masyarakat menyebutkan bahwa kekayaan yang diperoleh melalui jalan pesugihan harus dibayar dengan nyawa.
Menurut salah satu peneliti mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB) Harun Rasyid Al Habsyi, pengorbanan ini bervariasi tergantung motif pelaku.
"Kami memang menemukan istilah 'harta dibalas nyawa'. Pengorbanannya bervariasi, tergantung motif, karena ada yang mencari kekayaan, jabatan, hingga penglaris," ujarnya seperti dikutip dari detikJatim.
Meski begitu, tidak ada bukti nyata yang mendukung klaim tersebut. Harun mengatakan, informasi ini hanya didapat dari penuturan warga lokal dan belum dapat dipastikan kebenarannya karena fokus utama penelitian mereka adalah aspek mental.
Alih-alih menemukan bukti tumbal, studi itu justru menemukan adanya korelasi antara keyakinan kuat pada praktik tersebut dengan gangguan mental, khususnya psikosis. Artinya, obsesi pada pesugihan bisa jadi merupakan kecenderungan psikologis tertentu yang mendorong seseorang mencari solusi irasional.
Dua Tempat yang Dikaitkan dengan Pesugihan
Misteri pesugihan ini dikaitkan dengan dua tempat utama, yaitu Pesarean Gunung Kawi dan Keraton Gunung Kawi. Meskipun keduanya adalah tempat ziarah, masing-masing memiliki cerita pesugihan yang berbeda.
1. Pesarean Gunung Kawi
Pesarean Gunung Kawi adalah tempat peristirahatan terakhir Eyang Djoego (Kiai Zakaria II) dan murid sekaligus anak angkatnya, Raden Mas Iman Soedjono. Eyang Djoego bukanlah sosok sembarangan. Ia adalah cicit dari Pakubuwono I dan pengawal Pangeran Diponegoro yang wafat pada tahun 1871.
Pesarean Gunung Kawi dikenal karena adanya pohon Dewandaru, yang berada tepat di depan makam Eyang Jugo. Pohon ini diyakini membawa keberuntungan bagi siapa saja yang kejatuhan buah atau daunnya saat bertapa.
"Dari ceritanya pohon Dewandaru itu dari tongkat Eyang Jugo yang ditancapkan. Sering buahnya dinantikan karena dipercaya membawa keberuntungan, berbuah biasanya pada Bulan Desember," terang Ketua RT setempat Kadir.
Konon, siapapun yang bertapa di bawah pohon tersebut dan kejatuhan buah, daun, atau benda lain, diyakini akan mendapat keistimewaan, termasuk keberuntungan besar atau kekayaan. Namun, mendapatkan berkah itu tidaklah mudah. Ada yang harus menunggu hingga berbulan-bulan.
Namun, menurut salah satu penjaga makam, Jono mengatakan, para peziarah datang bukan untuk ritual pesugihan, melainkan mendoakan dan mengenang jasa-jasa para leluhur. Tradisi ziarah di pesarean ini sudah berlangsung sejak tahun 1871 dan terus ramai, terutama pada malam 1 Suro dan malam Jumat Legi.
"Di sini pengunjung seperti berziarah ke makam-makam pada umumnya, tawasulan, tahlil, ada juga yang menggelar tirakatan, kemudian diakhiri dengan slametan. Tidak ada yang katanya pesugihan dengan syarat tertentu, apalagi nyawa," tegasnya.
2. Keraton Gunung Kawi
Berbeda dari pesarean, Keraton Gunung Kawi terletak di puncak yang lebih tinggi, tepatnya 2.860 mdpl. Tempat ini memiliki aura mistis yang terasa kental. Kesan sakralnya semakin nyata begitu memasuki area keraton, di mana banyak ditemukan sesajen yang menunjukkan tempat ini sering digunakan untuk pemujaan.
Setelah memasuki pintu gapura, pengunjung akan menemui tiga makam yang dipercaya merupakan pengawal setia dari Eyang Tunggul Manik dan istrinya Eyang Tunggul Wati, yang dimakamkan di kompleks dalam keraton. Mereka adalah Eyang Hamid, Eyang Broto dan Eyang Joyo.
Setelah melewati area makam tersebut, pengunjung akan menemui bangunan tepat berada di ujung anak tangga yang dinamai Keraton Gunung Kawi, pada sisi timur bangunan berdiri pohon Dewandaru.
"Tiga makam di depan, merupakan pengawal Eyang Tunggul Manik. Sesuai namanya diyakini merupakan sanepan, Eyang Hamid dimaknai amit atau permisi, Eyang Broto dimaknai bertapa atau meditasi untuk berdoa kepada Tuhan, dan Eyang Joyo melambangkan kejayaan atau barokah. Jadi prosesnya begitu," ungkap Jono.
Meskipun kerap dikaitkan dengan pesugihan, kata Jono, tempat ini adalah lokasi ziarah. Para pengunjung datang untuk mendoakan leluhur yang dimakamkan di sana. Kompleks ini pun selalu ramai peziarah pada malam-malam tertentu yang dianggap sakral.
"Di sini kalau malam Selasa Kliwon, Kamis Kliwon, dan malam 1 Suro selalu ramai para pengunjung untuk berziarah. Mereka dari berbagai daerah luar Malang maupun dari luar Jawa," ujar Jono.
Gunung Kawi Tempat 'Ngalab Berkah'
Meskipun cerita tentang tumbal pesugihan marak, penjaga dan pengelola situs Gunung Kawi membantah praktik tersebut. Mereka menjelaskan bahwa para pengunjung datang untuk berziarah, berdoa, dan mencari keberkahan (ngalab berkah). Jono menegaskan bahwa tempat ini bukanlah tempat pesugihan.
"Gunung Kawi ini memang sudah melekat dengan istilah pesugihan. Tapi, sebetulnya tempat ini bukan tempat pesugihan, melainkan tempat ziarah. Para peziarah yang berkeinginan berziarah itu tawasul, mendoakan para leluhur, yang ujung-ujungnya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hajatnya terkabul. Jadi tidak ada pesugihan," tegas Jono.
Para peziarah meyakini berdoa di makam para eyang dapat membantu mencapai kesuksesan bisnis atau karier. Di sini, peziarah melakukan tahlil akbar dan berdoa kepada Tuhan untuk memohon keberkahan dalam hidup, rezeki, dan kesuksesan.
"Kami pastikan tempat ini bukan tempat pesugihan. Kami sudah pisahkan antara tempat ritual dan tempat ziarah," ujar juru bicara Yayasan Ngesti Gondo yang mengelola Pesarean Gunung Kawi Alie Zainal Abidin.
Ketua RT Kadir tak memungkiri, ketika permohonan terkabul, peziarah biasanya kembali untuk bersyukur dan memberikan sedekah atau sumbangan. Ia menegaskan, kesuksesan tersebut hasil dari doa tulus dan kerja keras, sehingga jauh dari tumbal atau perjanjian gaib.
"Kalau yang datang ke sini setelah doa, usahanya berhasil, dagangannya laris, ya itu sudah atas izin Allah. Berarti rezeki," tegas Kadir.
Misteri pesugihan Gunung Kawi adalah sebuah kisah yang terus hidup, berkembang dari mulut ke mulut, dan dipengaruhi berbagai interpretasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Gunung Kawi adalah tempat yang kaya warisan sejarah, tradisi ziarah, dan keharmonisan antar-umat beragama.
Tempat ini bukanlah lokasi untuk mencari kekayaan secara instan, melainkan sebuah ruang sakral bagi mereka yang ingin mengenang leluhur, memanjatkan doa, dan menghargai keberagaman budaya.
(hil/irb)