Bukan Budaya, Pakar Sebut Sound Horeg Mirip Fenomena 'Om Telolet Om'

Bukan Budaya, Pakar Sebut Sound Horeg Mirip Fenomena 'Om Telolet Om'

Muhammad Aminudin - detikJatim
Selasa, 29 Jul 2025 17:15 WIB
Sound horeg di Malang
Ilustrasi sound horeg. (Foto: Dok. Istimewa)
Malang -

Di tengah polemik fatwa haram MUI Jatim, sempat muncul anggapan bahwa sound horeg bagian dari budaya masyarakat. Sosiolog membantahnya dan menyebut sound horeg merupakan fenomena mirip 'Om Telolet Om' atau 'Lato-lato'.

Pengeras suara dengan intensitas suara menggelegar di atas 65 desibel, ditambah aksesoris lampu, dan penari latar yang mengiringi itu belum memenuhi sejumlah kriteria hingga pantas disebut sebagai budaya.

"Kalau kita bicara budaya, itu bukan hanya soal populer atau tidak. Budaya itu adalah panduan hidup a way of life yang dipelajari, dimiliki bersama," ujar Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) Didid Haryadi, Senin (28/7).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak cukup itu saja, ada sejumlah kriteria lain yang harus dipenuhi sebuah fenomena hingga layak disebut membudaya di masyarakat. Salah satunya dipraktikkan terus menerus.

"Selain itu budaya harus bersifat menyeluruh, dan dipraktikkan terus-menerus dalam keseharian. Nah, sound horeg tidak memenuhi unsur-unsur itu," tegas Didid saat diwawancarai detikJatim.

ADVERTISEMENT

Didid pun membandingkan fenomena sound horeg yang sedang hangat menjadi perbincangan ini dengan tren musiman lain seperti 'Om Telolet Om' atau permainan 'lato-lato' yang sempat viral.

Om Telolet Om adalah fenomena yang berangkat dari kegembiraan anak-anak dan remaja yang meminta sopir bus untuk membunyikan klakson bus yang disebut Telolet atau kini dikenal secara luas sebagai Basuri.

Fenomena Om Telolet Om itu sempat viral secara global pada akhir 2016 berkat media sosial. Bahkan fenomena yang berasal dari Indonesia itu sempat menginspirasi sejumlah musisi internasional.

Didid menilai, fenomena seperti sound horeg maupun Om Telolet Om tidak memiliki akar nilai yang mendalam atau makna sosial yang berkelanjutan sehingga kemungkinan besar akan meredup seiring waktu berjalan.

"Menurut saya sound horeg bukan budaya. Lebih identik sebagai hiburan yang muncul secara temporer saja. Budaya selalu identik dengan sesuatu yang adiluhung dan dirawat oleh anggota masyarakat dalam praktik sosialnya," pungkasnya.




(dpe/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads