Berdasarkan cerita turun temurun, makam lawas di tepi sungai dan areal persawahan Dusun Sidodadi, Desa Sraten, Kecamatan Cluring diyakini Makam Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan yang wilayahnya kini dikenal Banyuwangi. Sebab itulah masyarakat Banyuwangi kerap menggelar ritual 1 Suro di sana.
Ketua Pengurus Makam Prabu Tawang Alun Irawan Suyanto menceritakan asal-muasal keyakinan masyarakat Kedawung akan keberadaan makam Raja Blambangan. Menurutnya, kisah keberadaan makam Tawang Alun merupakan cerita turun-temurun lintas generasi yang diyakini hingga saat ini.
"Ini kan cerita dari generasi ke generasi. Awalnya, Mbah Martoredjo (salah satu sesepuh) dari Yogyakarta mendapatkan sebuah mimpi ketika membabat alas Kedawung (Dusun Sukodadi)," kisah Irawan, Kamis (26/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di mimpinya, lanjut Suyanto, Mbah Martoredjo yang kerap berpindah lokasi ketika membuka alas belantara diminta untuk berhenti di sebuah tempat. Tempat itu terdapat aliran sungai yang melewati dan diyakini sebagai makam Prabu Tawang Alun.
"Ketika datang, kedua makam ini sudah ada seusai dibabat oleh Mbah Martoredjo. Makam itu berada tepat berada di pinggiran sungai dan sesuai dengan mimpi. Yang diyakini sebagai makam Prabu Tawang Alun," ujarnya.
Selain menyatakan eksistensi makam lewat pemugaran, kegiatan besar kerap digelar disini. Salah satunya, kegiatan Kirab Budaya Tumpengan dan Takir Sewu digelar pada tahun 2017 lalu.
Irawan menyebut, ada sejarah dibalik digelarnya hajatan akbar saat itu. Menurutnya, ada perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang sengaja datang ke tempatnya mencari makam Prabu Tawang Alun.
"Kemudian di hantarkanlah tiga orang perwakilan dari Disbudpar itu oleh tokoh masyarakat bersama kepala desa menunjukkan makam Prabu Tawang alun di Kedawung," terang Irawan.
![]() |
Perwakilan Disbudpar, lanjut Irawan, kemudian mengadakan suatu ritual dari Kediri dengan membawa takir. Kemudian diletakkan sebuah bunga dalam takir yang kemudian disulut sebuah api.
"Muncul api setinggi dua meter yang membara layaknya api unggun," tambahnya.
Ritual itu ternyata ditujukan berdasarkan petunjuk dari kontingen yang kesurupan saat mengikuti event budaya di tingkat Provinsi Jawa Timur. Kontingen itu, kata Irawan, membawakan cerita kolosal berjudul "Langit Mendung di Atas Kedawung" yang lakon utamanya Prabu Tawang Alun.
"Karena ada suara (kontingen kesurupan) yang menyatakan adanya makam Prabu Tawang Alun di Kedawung maka mereka (Perwakilan Disbudpar) datang ke sini," jelasnya.
Dari sinilah keyakinan masyarakat Sukodadi makin menguat. Dan menggelar event tersebut untuk mengenalkan makam Prabu Tawang Alun ke khalayak luas.
Tak jauh dari makam Prabu Tawang Alun, terdapat satu makam leluhur masyarakat Kedawung bernama Mbah Darwi. Letaknya pun bersandingan.
Disampingnya juga terdapat pohon tua yang disebutkan sebagai pohon Lo, pohon berusia ratusan tahun.
"Dari dulu sudah ada di dekat makam Prabu Tawang Alun. Pohon Lo masyarakat sini menyebutnya. Kerap jadi ritual masyarakat menarik pusaka atau benda tak kasat mata," sambungnya.
Kini, setiap jelang malam 1 Suro. Masyarakat Kedawung membersihkan dan menghias makam Prabu Tawang Alun. Lalu di malam hari mereka menggelar ritual tumpeng dan takir sembari berkirim doa untuk leluhur. Tak sedikit warga yang memilih tinggal hingga tengah malam untuk meditasi dan refleksi.
(dpe/hil)