Tahapan dan Ritual Bulan Suro Menurut Tradisi Jawa

Tahapan dan Ritual Bulan Suro Menurut Tradisi Jawa

Mira Rachmalia - detikJatim
Kamis, 26 Jun 2025 12:20 WIB
Ilustrasi mitos dan larangan malam satu suro.
Ilustrasi. Simak Dereta Ritual Bulan Suro Foto: Istimewa/ Unsplash.com
Surabaya -

Bulan Suro, atau bulan Muharram dalam kalender Hijriah, memiliki makna khusus bagi masyarakat Jawa. Dalam tradisi kejawen, bulan ini dipenuhi dengan laku spiritual dan berbagai ritual sakral yang telah diwariskan sejak masa Kerajaan Mataram Islam, terutama di masa Sultan Agung. Pada tahun 1633 M, Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa yang menyatukan perhitungan tahun Saka dari tradisi Hindu dengan penanggalan Hijriah Islam. Maka, bulan Suro pun menjadi momen penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.

Makna Bulan Suro Bagi Orang Jawa

Bagi orang Jawa, malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun. Setidaknya ada tiga alasan mengapa malam ini dianggap sangat istimewa:

1. Nilai Spiritual dan Mistis

Malam 1 Suro dipercaya sebagai waktu terbukanya gerbang dunia gaib. Dalam kosmologi Jawa, momen ini diyakini menjadi titik pertemuan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

2. Bulan Sakral dan Penuh Keprihatinan

Suro dianggap sebagai bulan prihatin, bukan waktu yang tepat untuk berpesta atau merayakan hal-hal duniawi. Justru sebaliknya, dianjurkan untuk tirakatan dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

3. Waktu Introspeksi dan Pembersihan Diri

Bulan Suro dimanfaatkan sebagai masa untuk membersihkan diri lahir dan batin, menjauhi hawa nafsu, dan mencari ketenangan jiwa.

ADVERTISEMENT

Ragam Ritual Bulan Suro

Berikut adalah tahapan dan jenis-jenis ritual yang umumnya dilakukan masyarakat Jawa selama bulan Suro:

1. Semedi (Meditasi Kejawen)

Semedi berasal dari kata Sanskerta samadhi, yang berarti menyatu dalam kesadaran luhur. Tujuannya adalah meraih kesadaran spiritual sejati dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam semedi, pelaku menjalankan prinsip eneng (diam), ening (jernih pikiran), enung (merenung), dan suwung (kosong dari duniawi). Lokasi semedi biasanya berada di tempat yang dianggap sakral, seperti:

  • Padepokan Purwa Ayu Mardi Utama dan Alas Purwo di Banyuwangi
  • Candi Sumberawan di Malang
  • Puncak Suroloyo di Kulon Progo, Yogyakarta
  • Pertapaan Mintorogo, tempat yang diyakini sebagai kahyangan para dewa

Semedi juga menjadi bagian dalam Kirab Pusaka yang dilakukan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta, di mana para peserta berpakaian tradisional serba hitam sebagai simbol keprihatinan dan kekhusyukan.

2. Sesirih (Laku Prihatin)

Sesirih merupakan praktik keprihatinan spiritual melalui pengurangan kebutuhan jasmani. Tujuannya adalah menjaga kesucian lahir batin dan meredam hawa nafsu. Bentuk sesirih antara lain:

  • Puasa Patigeni: Tidak makan, minum, tidur, berbicara, atau terpapar cahaya api/matahari. Biasanya dilakukan di ruang gelap.
  • Puasa Mutih: Hanya makan nasi putih dan minum air putih. Dimaknai untuk mensucikan hati.
  • Puasa Ngrowot: Menghindari nasi, hanya makan umbi-umbian, sayur, dan buah.
  • Kungkum: Berendam di sungai atau sumber mata air untuk menyucikan diri dan menenangkan batin.

Salah satu lokasi kungkum yang populer adalah Tugu Soeharto di pertemuan Kali Garang dan Kali Kreo, Semarang-diyakini sebagai tempat pertapaan Presiden Soeharto di masa muda.

3. Sesuci (Jamasan Pusaka)

Sesuci adalah ritual pembersihan diri dan benda pusaka (jamasan). Bagi masyarakat Jawa, pusaka merupakan simbol kekuatan spiritual yang harus dirawat secara lahir dan batin.

Ritual jamasan dilakukan untuk menghilangkan energi negatif dan menarik berkah. Tradisi ini dilakukan oleh:

  • Keraton Yogyakarta dan Surakarta, biasanya pada hari Selasa Kliwon di bulan Suro.
  • Masyarakat umum di Parangtritis, Yogyakarta, melalui prosesi larungan pusaka ke laut.

Sebagai pelengkap ritual, juga disajikan bubur Suro, yaitu bubur nasi dengan berbagai lauk sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dari Tuhan.

4. Sarasehan dan Rembug Warga

Sarasehan adalah bentuk pertemuan warga untuk berdiskusi, refleksi, dan membangun rasa kebersamaan. Biasanya digelar oleh pemerintah daerah maupun masyarakat pedusunan. Sarasehan malam 1 Suro mencerminkan semangat gotong royong dan introspeksi. Dalam acara ini biasanya akan digelar beberapa kegiatan berikut ini:

  • Berdoa bersama
  • Menyusun rencana kegiatan kampung
  • Merenungkan perjalanan hidup setahun terakhir
  • Memohon keselamatan dan berkah di tahun mendatang

5. Pelestarian Nilai Budaya

Ritual bulan Suro bukan sekadar tradisi, tapi bentuk nyata dari relasi manusia Jawa dengan alam, Sang Pencipta, dan sesama. Pelaksanaan berbagai ritual ini merupakan upaya menjaga warisan budaya leluhur agar tetap hidup dan relevan dalam kehidupan modern.

Dengan menghargai bulan Suro sebagai momentum spiritual, masyarakat Jawa memperkuat akar identitas dan kepercayaannya dalam menghadapi kehidupan yang terus berubah.




(auh/ihc)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads