Warga Blitar memiliki tradisi unik dalam menyambut bulan suci Ramadan, yakni Unggahan. Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun sebagai wujud rasa syukur dan persiapan menyambut ibadah puasa. Beragam rangkaian acara digelar, mulai dari doa bersama hingga kenduri selamatan. Berikut rangkaian acara Unggahan di Blitar.
Dilansir dari buku Tradisi Ramadan di Indonesia Dialektika Teks dan Konteks yang ditulis Aan Choirul Anam dkk, tradisi Unggahan biasanya digelar sekitar satu minggu sebelum datangnya bulan suci Ramadan.
Tradisi Unggahan di Blitar dapat dilaksanakan di rumah dengan mengundang tetangga sekitar atau di musala bersama warga lainnya. Setiap keluarga biasanya membawa dua hingga empat jenis berkat atau nasi kotak, yang kemudian didoakan untuk para leluhur yang telah berpulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alternatif lain yang dianggap lebih praktis adalah dengan terlebih dahulu mendoakan makanan bersama keluarga di rumah, lalu langsung membagikannya kepada tetangga. Cara ini dinilai lebih efektif dan efisien karena makanan telah matang, didoakan, dan langsung dibagikan.
Biasanya hampir setiap rumah di Blitar menggelar tradisi Unggahan, sehingga hampir setiap hari ada yang mengantar berkat setiap malam. Tradisi Unggahan ini diharapkan menjadi salah satu tanda keberkahan menyambut bulan suci Ramadan.
Isian berkat dalam tradisi Unggahan terdiri dari nasi, serundeng, sambal goreng, mi, ayam, pisang, serta kue apem. Makanan tersebut didoakan untuk para leluhur yang telah berpulang, dengan harapan amal ibadah mereka diterima dan segala dosanya diampuni.
Rangkaian Acara Unggahan di Blitar
Tradisi Unggahan dalam menyambut Ramadan mungkin memiliki variasi di setiap daerah, termasuk di Blitar. Namun, secara umum, rangkaian acaranya tetap mengusung nilai-nilai kebersamaan dan doa untuk para leluhur. Warga biasanya menggelar doa bersama, berbagi berkat, dan menjalankan ritual khas yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Dilansir dari jurnal Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung berjudul Perayaan Tradisi Unggahan di Masa Pandemi Desa Sukorejo Blitar, tradisi Unggahan merupakan bentuk doa dan permohonan kepada Allah SWT, agar diberikan keselamatan serta kesejahteraan dalam menjalani ibadah puasa.
Seperti di Desa Sukorejo, tradisi Unggahan diawali dengan persembahan sesaji di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti makam leluhur dan pohon besar di sekitar desa. Namun, dalam perkembangannya, beberapa rangkaian acara mengalami perubahan.
Warga membawa tumpeng maupun berkat sesuai jumlah anggota keluarga ke musala atau tempat yang disepakati. Makanan tersebut kemudian dikumpulkan untuk dibacakan tahlil dan doa-doa, lalu saling ditukarkan sebagai simbol kebersamaan.
Setelah itu, warga makan bersama di tempat, atau ada juga yang membawanya pulang untuk dimakan bersama keluarga. Di sinilah, warga saling berinteraksi dan menyambung tali silaturahmi. Maka, hikmah tradisi Unggahan lainnya adalah merekatkan hubungan antarwarga.
Lagu Dolanan Menyambut Ramadan
Muslim memandang Ramadan sebagai 'tamu' yang membawa beragam karunia dan anugerah yang dititipkan bagi umat manusia yang menjalankan ibadah puasa, baik berupa ampunan, pahala berlipat ganda, kasih sayang dari Allah SWT, hingga kebebasan dari api neraka.
Menurut laman FAI UNU Blitar, anak-anak zaman dahulu menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan, salah satunya melalui lagu dolanan tradisional. Mereka mendendangkan lagu sambil bermain sebagai bentuk antusiasme menyambut 'tamu' istimewa, yakni bulan suci Ramadan.
Salah satu lagu dolanan yang kerap dinyanyikan adalah E, Dhayohe Teka, yang memiliki makna mendalam. Lirik lagu dolanan E, Dhayohe Teka adalah sebagai berikut.
E, dhayohe teko
E, beberna klasa
E, klasane bedhah
E, tambalen jadah
E, jadahe mambu
E, pakakna asu
E, asune mati
E, kintirna kali
E, kaline banjir
E, kelekna pinggir
E, pinggire lunyu
E, yo golek sangu
Frasa "dhayohe teka" melambangkan kedatangan tamu suci, sementara "beberna klasa" bermakna menyiapkan diri dengan niat tulus dalam menyambut Ramadan. Lirik lagu tersebut juga mengandung pesan filosofis.
Ungkapan "klasane bedhah, tambalen jaddah" mengajarkan bahwa jika niat dan keteguhan dalam menjalankan puasa mulai goyah (bedhah), maka harus diperbaiki dengan kesungguhan (jaddah), sejalan dengan pepatah "man jadda wajada", yaitu barang siapa bersungguh-sungguh, ia akan meraih hasilnya.
Lebih lanjut, jika kesungguhan itu luntur (jadahe mambu), maka seseorang akan terjerumus dalam keburukan (asu/as-su'). Dalam tradisi Jawa, keburukan ini harus disingkirkan melalui simbolisasi mbuwang sengkala, yakni melarungnya ke sungai atau kali.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, seseorang harus berhati-hati karena jalan kehidupan penuh tantangan (pinggire lunyu), sehingga diperlukan bekal berupa ilmu pengetahuan (golek sangu).
Dalam tradisi masyarakat Jawa, penyambutan ini dikenal dengan Megengan, atau Unggahan di Blitar. Di mana, tradisi Unggahan sudah diwariskan secara turun-temurun sebagai bentuk penghormatan terhadap Ramadan.
(hil/irb)