Beberapa waktu lalu dikejutkan penemuan 5 kerangka manusia saat ekskavasi di bekas Istana Bhre Wengker Desa Kumitir Mojokerto. Dari 5 kerangka manusia itu, salah satunya 1 balita.
Saat ditemukan, posisi ke-5 kerangka manusia itu tidak lazim. Pasalnya, mereka dikubur dalam posisi tengkurap dan dua tangannya terlipat di depan dada. Posisi kepala lurus menghadap ke bawah.
Diduga ke-5 kerangka manusia itu hidup sekitar zaman Majapahit antara abad ke 16 hingga 18 masehi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arkeolog Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Jawa Timur bekerja sama dengan Tim Ahli Paleoantropologi Unair masih meneliti keterkaitan 5 kerangka yang dikubur dengan posisi telungkup itu dengan Istana Bhre Wengker.
Penemuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa wilayah ini memiliki peran penting dalam sejarah Majapahit dan Kerajaan Wengker. Bhre Wengker memiliki nama asli Raden Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam Kitab Nagarakartagama, Raden Kudamerta disebut pendiri kerajaan Wengker yang disebut-sebut berpusat di Ponorogo.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Wengker
Kerajaan Wengker, meskipun tidak sepopuler kerajaan besar lainnya seperti Majapahit atau Singasari, menyimpan sejarah yang menarik dan penuh misteri. Kerajaan ini pernah jadi salah satu wilayah penting di bawah kekuasaan Majapahit, dan dikenal dengan gelar raja "Bhre Wengker" yang menandai statusnya sebagai penguasa wilayah strategis tersebut.
Kerajaan Majapahit, berdiri pada abad ke-13 hingga abad 16, dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Salah satu wilayah kekuasaan yang penting adalah Bhre Wengker. Bhre Wengker merupakan nama yang diberikan kepada seorang penguasa atau adipati yang memerintah wilayah Wengker, sebuah daerah yang saat ini dikenal sebagai Ponorogo, Jawa Timur.
Dalam Serat Centhini, yang mencatat kisah-kisah sejarah dan budaya, disebutkan bahwa pada masa Adipati Panji, puri yang dimiliki Adipati Panji terletak di Ponorogo,. Ini menunjukkan bahwa Ponorogo pada masa lalu merupakan pusat pemerintahan yang signifikan dalam sejarah Kerajaan Wengker.
Melansir buku Makna Motif Relief dan Arca Candi Surowono dan Candi Tegowangi Situs Kerajaan Kadiri yang diterbitkan CV. Dream Litera Buana, Bhre Wengker merupakan seorang penguasa yang dihormati dalam Kerajaan Majapahit. Ia adalah raja dari Kerajaan Wengker, sebuah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Bhre Wengker diperkirakan wafat pada tahun 1388 M.
Sebagai tokoh penting dalam sejarah, namanya diabadikan dalam berbagai sumber sejarah, termasuk Negarakertagama. Dalam informasi tersebut, diceritakan bahwa pada tahun 1361 M, Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, pernah berkunjung dan menginap di wilayah Wengker, menunjukkan hubungan erat antara Bhre Wengker dan pusat kekuasaan Majapahit.
Bhre Wengker berdiri sebagai bagian dari sistem politik yang diterapkan Majapahit di mana raja menunjuk pejabat-pejabat tinggi, termasuk para adipati, untuk memimpin wilayah-wilayah kekuasaannya. Menurut catatan sejarah, Bhre Wengker didirikan Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit yang terkenal dengan pencapaian politik dan militernya. Bhre Wengker sendiri diberikan kepada kerabat kerajaan, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kontrol Majapahit di berbagai daerah.
Nama "Bhre" merujuk pada gelar yang disematkan kepada penguasa daerah dalam lingkup Majapahit, sedangkan "Wengker" adalah nama wilayah yang dikuasai. Bhre Wengker berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal yang berperan penting dalam menjaga stabilitas serta memperkuat kekuatan Majapahit di wilayah barat kerajaan.
Melansir dari laman resmi Universitas STEKOM Semarang, Kerajaan Wengker, yang pada masa puncaknya menjadi salah satu wilayah penting di bawah kekuasaan Majapahit, dipimpin raja-raja bergelar Bhre Wengker.
Sebagai bagian dari wilayah yang setia kepada Majapahit, Wengker memainkan peran strategis dalam struktur politik kerajaan tersebut. Tradisi yang berkembang di Wengker, seperti "Gemblak", merupakan bagian dari budaya yang terkait dengan para pemilik gelar Warok, di mana mereka menunda pernikahan atau menghindari hubungan dengan wanita sebagai bagian dari ajaran ilmu kanuragan.
Bhre Wengker pertama kali tercatat dalam sejarah adalah Wijayarajasa, yang memerintah dari tahun 1328 hingga 1388. Masa pemerintahannya tercatat dalam beberapa sumber sejarah, termasuk Pararaton dan Negarakertagama, yang menggambarkan bahwa Wengker berada di bawah kendali Majapahit.
Setelah Wijayarajasa, pemerintahan Kerajaan Wengker dilanjutkan oleh putranya, Sawitri, yang memerintah dari 1389 hingga 1427. Sawitri dikenal sebagai penguasa yang melanjutkan kedudukan Wengker sebagai wilayah penting di bawah Majapahit.
Setelah masa Sawitri, kepemimpinan Wengker diteruskan Girisawardhana, yang memerintah dari tahun 1429 hingga 1456. Girisawardhana merupakan penerus yang dikenal sebagai sosok yang menjaga stabilitas dan hubungan baik dengan pusat kekuasaan Majapahit.
Dengan adanya pergantian kepemimpinan ini, Kerajaan Wengker tetap mempertahankan posisinya sebagai wilayah bawahan Majapahit yang strategis, dan tetap memainkan peran penting dalam politik serta hubungan antar kerajaan di Nusantara pada masa itu.
Kerajaan Wengker Perang Melawan Raja Airlangga
Dilansir dari jurnal Universitas Negeri Malang yang berjudul Kajian Historis Legenda Reog Ponorogo yang ditulis Slamet Sujud P.J, menurut versi pertama dari legenda peperangan, Raja Panuda atau Adhamapanuda dari Kerajaan Wengker berperang melawan Raja Airlangga.
Dalam peperangan yang terjadi pada tahun 952 Saka (1030 M), Raja Panuda melarikan diri dari istananya di Lewa dan dikejar hingga ke Desa Galuh dan Barat. Setahun kemudian, pada 953 Saka (1031 M), anak Raja Panuda dikalahkan dan istananya dihancurkan, menandakan kemenangan Airlangga atas Kerajaan Wengker.
Pemilik legenda Wengker, untuk menjaga citra kerajaannya, mungkin menciptakan cerita yang membalikkan fakta, menggambarkan kemenangan mereka dalam peperangan, meskipun pada kenyataannya mereka kalah.
Dalam versi legenda lainnya, Raja Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin berperang melawan Raja Singalodra dari Kerajaan Lodaya untuk memperebutkan Dewi Sanggalangit. Dalam versi ini, Kerajaan Wengker mungkin diidentifikasi sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perang tersebut.
Namun, hingga saat ini belum ada sumber sejarah yang mencatat perang antara Kerajaan Wengker dan Kerajaan Lodaya. Meski begitu, cerita legenda ini mencerminkan adanya kemungkinan peperangan antar kerajaan daerah, termasuk antara Wengker dan Lodaya, meskipun tidak ada bukti sejarah konkret yang mendukung hal ini.
Sejarah lebih lanjut dari prasasti Pucangan mencatat bahwa setelah mengalahkan Raja Panuda, Airlangga harus menghadapi pemberontakan lagi dari Kerajaan Wengker, namun kali ini di bawah Raja Wijayawarmma.
Pada tahun 957 Saka (1035 M), Airlangga menyerbu kembali Wengker, membuat Raja Wijayawarmma melarikan diri. Setelah beberapa waktu, pada tahun 959 Saka (1037 M), Raja Wijayawarmma ditangkap dan dibunuh, mengakhiri pemberontakan Wengker. Dengan kematian Raja Wijayawarmma, kampanye penaklukan Airlangga pun selesai, memperkuat posisinya sebagai pemersatu kerajaan.
Peninggalan Arkeologi
Peninggalan arkeologi dari Kerajaan Wengker Kuno memberikan banyak informasi mengenai sejarah kerajaan tersebut. Salah satunya adalah Prasasti Pucangan, yang ditulis pada tahun 963 Saka atau sekitar November 1041 Masehi oleh Airlangga.
Prasasti ini mencatat kondisi Kerajaan Wengker sebelum masa pemerintahan Airlangga, dengan bagian prasasti yang menggunakan bahasa Sanskerta dan sebagian lainnya dalam bahasa Jawa Kuno. Bagian yang menggunakan bahasa Jawa Kuno menceritakan hubungan antara Kerajaan Wengker, Kerajaan Sriwijaya, dan Kerajaan Lwaram dalam usaha mereka untuk mengakhiri kekuasaan Dharmawangsa Teguh.
Selain itu, ada juga Prasasti Mruwak, yang ditemukan di Desa Mruwak dan bertarikh tahun 1108 Saka (1186 Masehi). Prasasti ini memberikan informasi mengenai asal-usul keluarga raja Kerajaan Wengker, yakni Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, yang merupakan keturunan dari keluarga raja Dharmawangsa Teguh. Pembuatan prasasti ini bertujuan untuk memperingati masa pemerintahan Sri Jayawarsa, yang berlangsung dari tahun 1186 hingga 1204 Masehi.
Prasasti Sirah Keting yang ditemukan di Ponorogo pada 8 November 1204 Masehi, juga dikeluarkan oleh Sri Jayawarsa. Prasasti ini mencatat anugerah yang diberikan oleh Sri Jayawarsa kepada seorang tokoh bernama Marjaya atas jasa dan baktinya kepada raja. Prasasti ini menunjukkan hubungan sosial dan penghargaan yang terjadi di masa pemerintahan Kerajaan Wengker.
Dalam periode Kerajaan Wengker di bawah pengaruh Majapahit, terdapat Prasasti Renek, yang bertarikh 1379 Saka atau sekitar 1457 Masehi. Prasasti ini dikeluarkan oleh Girishawardhana, yang menyebut dirinya sebagai Bhatara ring Wengker. Dalam prasasti ini, Girishawardhana memberikan sima (tanah perdikan) kepada penduduk Desa Renek.
Selain itu, Candi Surawana yang dibangun pada abad ke-14 di Desa Canggu, Kediri, juga menjadi peninggalan penting yang dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker, raja dari Wengker yang wafat pada tahun 1388 Masehi.
Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(abq/fat)