Ruwatan adalah tradisi Jawa yang sarat makna dan ritual. Bagaimana Islam memandang tradisi tersebut?
Ruwatan adalah upacara pembebasan bagi anak atau orang yang kelahirannya di dunia ini dianggap tidak menguntungkan, atau karena melakukan perbuatan-perbuatan terlarang. Pelaksanaan ruwatan dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai penolak kesialan bagi anak dan sebagai upacara syukur.
Hingga saat ini, tradisi ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena berhubungan dengan keselamatan seseorang. Selain itu, masyarakat juga berhasrat untuk menjaga dan mempertahankan warisan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Ruwatan
Dilansir dari laman surakarta.go.id, asal-usul ruwatan ini berasal dari cerita pewayangan. Kisah yang menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang istimewa memiliki dua orang istri, yang bernama Pademi dan Selir. Dari Pademi, Batara Guru memiliki seorang anak laki-laki bernama Wisnu, sedangkan dari Selir, ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Batarakala.
Ketika Batarakala dewasa, ia menjadi sosok yang jahat dan kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakannya. Konon, sifat jahat Batarakala ini disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah, Batara Guru, yang tidak terkendali.
Dalam suatu peristiwa, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru muncul dan ia ingin bersetubuh dengan Selir. Namun, Selir menolak dan air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Air mani tersebut kemudian berubah menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batarakala.
Konon, Batarakala meminta makanan berupa manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengizinkan dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah wong sukerto, yaitu orang-orang yang mendapat kesialan, seperti anak tunggal. Oleh karena itu, setiap anak tunggal harus menjalani ruwatan agar terhindar dari malapetaka dan kesialan.
Pandangan Islam Soal Tradisi Ruwatan
Ada yang menyebut tradisi ruwatan sebagai adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram. Sedang mengenai kepercayaan, itu sudah langsung haram apabila bukan termasuk dalam Islam.
Adat yang boleh contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa. Itu tidak dilarang dalam Islam. Tetapi kemben, pakaian wanita yang hanya sampai dada bawah leher, itu haram, karena tidak menutup aurat. Tetapi kalau dilengkapi dengan kerudung, menutup seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala, maka tidak haram lagi, jadi boleh. Hanya saja namanya bukan kemben lagi tapi busana muslimah atau jilbab, kalau jelas-jelas sudah menutup aurat secara Islam.
Demikian pula ruwatan, sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena menyangkut hal gaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya dan sebagainya; maka ada yang menyebut hal itu sebagai keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti itu.
Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun justru ada ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat seperti itu adalah termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.
Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja. Abu Dawud meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud ra:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْك،ٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ ، وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
"At-thiyarotu syirkun, at-thiyarotu syirkun wamaa minnaa illa, walaakinnallooha yudzhibuhu bittawakkuli."
"Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya." (HR. Abu Daud)
Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas'ud. (Lihat Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, cetakan I, 1416H/1995, halaman 150).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ « أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ».
Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu 'Amr bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik." Para sahabat bertanya, "Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau menjawab, "Supaya mengucapkan,
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
Allahumma laa khoiro illaa khoiruka walaa thoiro illaa thoiruka walaa ilaaha ghoiruka.
"Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sembahan yang haq selain Engkau." (HR Ahmad; Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal 151).
Sedangkan meminta perlindungan kepada Batarakala agar tidak dimangsa dengan upacara ruwatan dan wayangan itu termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam Al-Qur'an:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ(106)
"Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)." (QS. Yunus [10] : 106).
{ إنك إذاً من الظالمين } : أي إنك إذا دعوتها من المشركين الظالمين لأنفسهم .
"...maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)."
Artinya: sesungguhnya kamu apabila mendoa kepada selain-Nya adalah termasuk orang-orang musyrik yang mendhalimi kepada diri-diri mereka sendiri.
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ(107)
"Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya..." (QS. Yunus [10] : 107)
(hil/iwd)