Pakaian Suku Tengger Identik Sarung, Ini Makna dan Simbolisnya

Pakaian Suku Tengger Identik Sarung, Ini Makna dan Simbolisnya

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Kamis, 20 Jun 2024 12:45 WIB
Perayaan Yadnya Kasada masyarakat Suku Tengger di Bromo.
Suku Tengger pakai sarung (Foto file: M Rofiq/detikJatim)
Probolinggo -

Suku Tengger yang tinggal di kaki pegunungan Bromo-Tengger-Semeru masih menjaga kelestarian budayanya. Termasuk dalam hal berpakaian.

Salah satu ciri khas yang mudah dikenal dari Suku Tengger adalah penggunaan sarung, baik pria maupun wanita. Namun, sarung bagi Suku Tengger bukan sekadar kain penutup tubuh biasa.

Tak hanya berfungsi melindungi tubuh dari suhu dingin, bagi Suku Tengger sarung memiliki makna dan simbolis yang mendalam. Pemakaian sarung ini bahkan telah menjelma menjadi identitas masyarakat Suku Tengger.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa Suku Tengger Suka Menggunakan Sarung?

Suku Tengger selalu menggunakan sarung bukan hanya melindungi diri dari hawa dingin, tetapi juga sebagai bagian dari identitas mereka. Saat berkunjung ke daerah Bromo-Tengger-Semeru, detikers akan sering melihat masyarakat Tengger menggunakan sarung dan ikat kepala bernama Udeng bagi pria.

Penggunaan sarung ini berlaku untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda. Meski suhu di tempat banyak masyarakat Tengger tinggal bisa mencapai 5 derajat celsius pada malam hari, alasan penggunaan sarung ternyata tidak hanya terbatas pada cuaca dingin.

ADVERTISEMENT

Bagi masyarakat Tengger, sarung memiliki makna yang lebih dalam dan telah menjadi simbol identitas mereka. Tradisi menggunakan sarung telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya mereka. Sarung sendiri merupakan bagian dari tradisi Indonesia yang sering digunakan sebagai pelengkap pakaian adat.

Penggunaan sarung di masyarakat Tengger juga memiliki nilai dan makna tersendiri tergantung pada siapa yang memakainya. Untuk laki-laki, sarung merupakan atribut formalitas sehari-hari atau sebagai perlengkapan saat bekerja. Cara mereka memakai sarung pun beragam, seperti dilipat hingga pinggang atau diselempangkan.

Sementara bagi perempuan, sarung berfungsi untuk menunjukkan status sosial tertentu. Bagi perempuan Tengger, sarung yang mereka pakai mencerminkan posisi mereka dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari lokasi simpul pada sarung tersebut.


Empat Simpul Sarung Bagi Perempuan Tengger

Setidaknya terdapat empat jenis simpul sarung yang digunakan oleh perempuan Suku Tengger untuk menggambarkan identitas mereka.

Ke-4 simpul ini memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Berikut rinciannya:

1. Perempuan Tengger yang mengikat sarung di pundak kanan

Perempuan Tengger yang mengikat sarung di pundak kanan menunjukkan bahwa dia sudah dewasa dan siap menikah. Melalui penempatan simpul di pundak kanan ini, dipercaya perempuan tersebut akan memiliki kemampuan untuk memilih suami terbaik dengan penuh tanggung jawab.

2. Perempuan Tengger yang mengikat sarung di dada

Simpul yang terletak di dada mengindikasikan bahwa perempuan Tengger tersebut sudah menikah.

3. Perempuan Tengger yang mengikat sarung di leher belakang

Simpul di leher belakang menandakan bahwa perempuan tersebut sedang hamil. Ujung sarung yang menjuntai di depan ditujukan untuk melindungi kehamilannya.

4. Perempuan Tengger yang mengikat sarung di pundak kiri

Perempuan Tengger yang mengikat sarung di pundak kiri menandakan bahwa dia sudah tidak memiliki suami, yang berarti dia telah bercerai atau merupakan seorang janda.

Nama dan Cara Penggunaan Sarung Berdasarkan Peruntukannya

Selain menunjukkan identitas mereka, masyarakat Tengger di Desa Ngadas juga memiliki sejumlah cara menggunakan sarung berdasarkan peruntukannya. Masing-masing cara memakai sarung ini berbeda sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan.

Berikut rinciannya:

1. Kakawung

Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang memungkinkan mereka bebas bergerak saat mengambil air atau pergi ke pasar. Cara bersarung ini tidak boleh digunakan saat bertamu atau melayat.

2. Sesembong

Untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja di ladang atau tugas lain yang memerlukan tenaga besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dililitkan di pinggang lalu diikatkan di dada seperti dodot agar tidak mudah lepas.

3. Sempetan

Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai ke garis pinggang. Cara ini disebut sempetan.

4. Kekemul

Saat santai dan berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua tangan, kemudian digantungkan di pundak.

Agar terlihat rapi saat bepergian, mereka menggunakan cara sengkletan, yaitu kain sarung cukup disampirkan di pundak atau digantung menyilang di dada.

5. Kekodong

Cara lain yang khas, sering dijumpai saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat upacara atau keramaian malam hari adalah kekodong.

Dengan ikatan di bagian belakang kepala, kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh kepala, hanya menyisakan mata yang terlihat.

6. Sampiran

Anak-anak muda Tengger memiliki cara bersarung tersendiri yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung, kedua lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangan.

Ini sederet penjelasan mengenai sarung yang menjadi pakaian adat khas Suku Tengger beserta penamaannya. Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun masyarakat Tengger, menjadikan sarung bukan sekadar pelindung dari dingin tetapi juga identitas budaya yang kaya makna.


Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads