Kota Surabaya merupakan kota dengan jumlah penduduk terbanyak sekaligus menjadi Ibukota Provinsi Jawa Timur. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik dalam buku Kota Surabaya dalam Angka, Kota Pahlawan ini memiliki 3 juta penduduk pada tahun 2023.
Kota besar yang multikultural ini memiliki banyak kisah unik yang bisa diulik, salah satunya adalah tentang lambang hiu dan buaya yang kini menjadi ikon bagi Kota Surabaya. Bahkan, dua binatang tersebut kini menjadi logo resmi Kota Pahlawan.
Bagaimana sejarah hiu dan buaya sampai bisa identik dengan Kota Surabaya? Apa makna Logo Resmi Kota Surabaya? Simak penjelasan ini sampai selesai ya!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Hiu dan Buaya Menjadi Logo Surabaya
Dikutip dari situs Begandring Soerabaia, awal mula gambar hiu dan buaya digunakan sebagai logo, yaitu ketika perkumpulan musik bernama St Caecilia di Surabaya menggunakan gambar dua hewan tersebut di plat besi souvenir dalam peringatan 10 tahun grup musik mereka.
Catatan mengenai hal ini dapat dibaca di catatan GH Von Vaber berjudul Oud Soerabaia. St Caecilia menggunakan gambar hiu dan buaya untuk memperingati satu dasawarsa mereka pada tahun 1858, sebab mereka ingin memvisualisasikan cerita rakyat di Surabaya.
Selain St Cecilia, koran dagang tertua zaman Hindia Belanda bernama Soerabaiasche Courant juga menggunakan lambang dua hewan itu di kop koran mereka dengan model yang lain.
Diduga setelah koran tersebut menggunakan logo hiu dan buaya, masyarakat mulai meyakini bahwa lambang Surabaya berbentuk demikian.
Lambat laun, logo ini menjadi banyak digunakan di berbagai tempat. Sejak akhir abad 18 hingga abad 19, hampir semua bangunan punya ornamen hiu dan buaya untuk melambangkan Surabaya.
Bangunan-bangunan strategis yang memasang gambar hiu dan buaya kala itu antara lain Menara Pandang Kalimas, eks Kantor Kedutaan Prancis di Dinoyo, hingga ornamen kaca-kaca patri di Gedung Perdagangan Jembatan Merah. Rumah-rumah pribadi juga ikut memasang ornamen dua hewan ini.
Kemudian di tahun 1920, pemerintah kolonial menerbitkan logo resmi Surabaya pertama kali. Logo tersebut menampilkan hiu dan buaya sebagai ikon, serta tulisan Soera ing Baja sebagai mottonya.
Berlanjut pada era kemerdekaan, Pemerintah Kota Besar Surabaya kala itu menerbitkan logo baru Surabaya. Masih dengan hiu dan buaya sebagai ikon, namun di bagian tengahnya ditambahkan lukisan Tugu Pahlawan.
Logo baru tersebut tampak polos tanpa motto. Hal ini diduga karena sang pembuat desain lupa memasang motto kala itu.
Logo tersebut ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dalam Putusan No. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955 dan diperkuat dengan Keputusan Presiden RI No. 193 tahun 1956 tanggal 14 Desember 1956.
Hingga saat ini, logo berlatar belakang biru tua tersebut masih digunakan sebagai logo resmi Kota Surabaya.
Makna Logo Surabaya
Dalam keputusan DPRS Kota Besar Surabaya No. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, dijelaskan bahwa makna Logo Surabaya adalah sebagai berikut:
1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi sesuatu bahaya
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu lambang yang memuaskan.
Kontroversi Makna Lambang Surabaya
Terdapat dugaan bahwa sebenarnya Surabaya bukan bermakna hiu dan buaya, melainkan yang benar adalah berani dalam bahaya. Berikut penjelasannya:
Nama Surabaya diketahui pertama kali disebut pada sebuah laporan keuangan pendapatan asli daerah (PAD) Kerajaan Majapahit. Laporan itu berisi tentang pungutan retribusi penyebrangan tambang dari Kali Brantas Mojokerto hingga Selat Madura.
Laporan PAD zaman Majapahit itu berasal dari tahun 1358 yang saat ini disebut sebagai Prasasti Canggu. Kemudian, nama Surabaya juga ditemukan dalam kakawin pujasastra Negara Kertagama pada tahun 1365.
Dalam Prasasti Canggu, disebutkan nama-nama yang memiliki penyebrangan tambang atau tambangan. Tiga desa terakhir pada hilirnya antara lain Desa I Gsang (sekarang Pagesangan Surabaya), I Bkul (sekarang Bungkul Surabaya), dan I Churabaya (daerah utara setelah Bungkul).
Berdasarkan penelitian dari para ahli sejarah klasik, Churabaya merupakan identifikasi kata sifat yang disematkan Majapahit pada sebuah desa berpenduduk orang-orang yang memiliki sifat berani melawan bahaya. Hal ini didasarkan dari bahasa Jawa Kuna yang mengartikan chura atau sura sebagai berani dan baya artinya bahaya.
Masyarakat sering mengartikan sura sebagai hiu dan baya sebagai buaya. Padahal, tidak ditemukan dalam bahasa kuno mana pun bahwa sura bermakna demikian. Selain itu jika berbicara konteks, maka pemahaman yang tepat untuk kata baya adalah bahaya, bukan buaya.
Kemudian, tak ditemukan literatur yang mengatakan dua hewan ini terkait dengan nama Surabaya. Selain itu, penggunaan gambar hiu dan buaya untuk perayaan 10 tahun perkumpulan St Cecilia yang didasari dari cerita rakyat kala itu, turut memperkuat bahwa arti Surabaya bukan hiu dan buaya.
Artikel ini ditulis oleh Ardian Dwi Kurnia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)