Bahasa Jawa Suroboyoan atau yang lebih akrab dikenal dengan boso Suroboyoan, merupakan salah satu dialek bahasa Jawa yang unik dan penuh ciri khas. Digunakan masyarakat Surabaya dan sekitarnya, boso Suroboyoan memiliki kekayaan budaya sendiri, termasuk sub-subdialek yang beragam dan kosakata yang berbeda dari bahasa Jawa Mataraman.
Boso Suroboyoan tidak hanya sebatas logat, tetapi juga mencerminkan identitas arek, sebutan bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Kata arek sendiri mengandung makna egaliter, menunjukkan kesetaraan bagi semua orang tanpa memandang usia dan gender.
Seiring perkembangan zaman, boso Suroboyoan terus mengalami dinamika. Kosakata baru bermunculan mengiringi perkembangan zaman dan budaya. Hal ini merupakan proses alami bahasa yang selalu hidup dan berkembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberagaman sub-subdialek boso Suroboyoan menjadi bukti kekayaan budayanya. Subdialek Ampel, Pecinan, Madura, dan Surabaya, misalnya, mencerminkan pengaruh komunitas dan sejarah di wilayah masing-masing.
Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kota Surabaya yang ke-731, yuk mengenal lebih dekat bahasa yang kerap dituturkan arek Suroboyo ini.
Sejarah Boso Suroboyoan
Dilansir dari laman Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya, belum ada sumber yang pasti mengenai asal-usul boso Suroboyoan. Namun, salah satu istilah dalam bahasa Jawa Suroboyoan yaitu arek bisa dilacak dari rumpun arek.
Secara harfiah, arek berarti anak atau orang, dan istilah ini digunakan untuk menyebut penduduk yang tinggal di wilayah yang dulu dikenal sebagai Jenggala. Wilayah Jenggala terbentuk akibat pembagian Kerajaan Kahuripan oleh Raja Airlangga (1009-1042), yang membagi kerajaannya menjadi dua demi keadilan, Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan Panjalu dengan ibu kota Dhaha atau Kediri.
Jenggala mencakup wilayah Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan, dan Tuban. Kata arek digunakan untuk merujuk pada anak-anak dan penduduk di sana, seperti arek Surabaya, arek Gresik, arek Malang, arek Pasuruan, arek Tuban, dan arek Jombang.
Setelah runtuhnya Majapahit pada 1400 Saka atau 1478 M, kekuasaan berpindah ke Demak, kemudian Pajang, dan akhirnya Mataram. Selama era kekuasaan Mataram, ada upaya menaklukkan Surabaya yang sebelumnya merupakan bagian dari Majapahit. Meskipun demikian, Surabaya tidak mudah ditaklukkan, hingga pada 1625 M, Mataram berhasil menguasainya.
Pengaruh Mataram cukup kuat di Surabaya, termasuk dalam aspek budaya dan pemerintahan. Namun, boso Suroboyoan tetap memiliki ciri khas tersendiri yang tidak terpengaruh bahasa Mataraman. Boso Suroboyoan memiliki aksentuasi, logat, intonasi, penekanan kalimat, serta kosakata yang berbeda.
Contoh Kosakata Boso Suroboyoan yang Sering Digunakan
Dalam boso Suroboyoan, terdapat beberapa kosakata yang berbeda dengan bahasa Jawa lainnya, seperti di Jawa Tengah ataupun Yogyakarta. Berikut ini beberapa contoh kosakata boso Suroboyoan yang sering digunakan.
- Gurung berarti belum (bahasa Jawa biasa: durung).
- Arek berarti anak (bahasa Jawa biasa: bocah).
- Gak berarti tidak (bahasa Jawa biasa: ora).
- Opo'o berarti mengapa (bahasa Jawa biasa: kenopo).
- Kate berarti akan (bahasa Jawa biasa: arep).
- Gae berarti pakai/untuk/buat (bahasa Jawa biasa: pakai/untuk=kanggo, buat=gawe).
- Koen (diucapkan kon) berarti kamu (bahasa Jawa biasa: kowe), untuk yang lebih kasarnya bisa dengan awakmu.
- Iwak berarti lauk (bahasa Jawa biasa: lawuh, iwak yang dimaksud di sini lauk pada saat makan nasi).
- Ndhek berarti di (bahasa Jawa biasa: ing atau ning).
- Dhukur berarti tinggi (bahasa Jawa biasa: dhuwur).
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 mengenai Pemajuan Kebudayaan, boso Suroboyoan diklasifikasikan sebagai bahasa. Selain itu, boso Suroboyoan diakui sebagai warisan budaya tak benda.
BosoSuroboyoan terutama digunakan di Surabaya. Namun, penduduk Surabaya yang telah berpindah dan tinggal di daerah lain tetap dengan bangga menggunakan bahasa ini karena bahasa tersebut mencerminkan identitas mereka.
Boso Suroboyoan belum diakui sebagai bahasa formal yang digunakan dalam komunikasi di sekolah, kantor, atau tempat-tempat resmi lainnya. Meskipun bukan bahasa resmi seperti bahasa Indonesia, boso Suroboyoan secara alami menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Surabaya dan menjadi kebanggaan tersendiri dalam berkomunikasi.
Namun demikian, di Surabaya sudah terdapat media penyiaran yang menggunakan boso Suroboyoan sebagai bahasa pengantar. Boso Suroboyoan juga digunakan dalam slogan-slogan pada spanduk yang dibuat Polda Jatim, Polres Surabaya, pemkot, dan instansi lainnya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)