Saat melintas di Jalan Mulyorejo Surabaya, ada patung ikonik dan menarik perhatian pengendara yang melewatinya. Patung itu terdiri dari pemuda berkaus putih memegang bambu runcing dan satu lagi berbaju hijau sambil menaiki kuda dengan senapan di tangan kanannya.
Rupanya patung tersebut merupakan replika dari sosok Moeljono dan Sariredjo, dua pejuang Revolusi Nasional Indonesia di penghujung 1945. Keberanian mereka mengusir penjajah begitu terkenang. Sampai-sampai namanya diabadikan menjadi nama kecamatan di Kota Pahlawan, yaitu Mulyorejo, akronim Moeljono dan Sariredjo dalam ejaan baru.
Bagaimana proses perjuangan dua pejuang ini saat melawan sekutu hingga gugur dan dikenang masyarakat?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia baru satu bulan mengumumkan kemerdekaannya. Namun, penjajah yang tak menerima deklarasi itu terus melakukan rangkaian serangan yang kelak disebut sebagai masa Revolusi Nasional Indonesia. Di Surabaya sendiri, tentara sekutu Inggris dari Brigade 45 beserta penyusup NICA Belanda mulai masuk melalui jalur laut.
Seiring berjalannya waktu, situasi Surabaya semakin memanas. Perlawanan demi perlawanan dilakukan masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Di suatu wilayah bernama Kalikepiting Surabaya, ada dua pemuda yang semangatnya sama-sama berkobar seperti pribumi lain. Merekalah Moeljono dan Sariredjo, yang diyakini warga setempat merupakan penduduk asli wilayah itu.
Kondisi Surabaya makin memanas karena pihak sekutu mulai rutin melakukan sweeping. Hingga pada 27 November 1945, warga Kalikepiting mendengar kabar bahwa patroli sekutu akan sampai di wilayah mereka.
Tak ingin kecolongan, Moeljono dan Sariredjo lantas bergegas menyiapkan barikade dan jebakan tepat di perbatasan dukuh mereka. Benar saja, menjelang matahari terbenam, tentara Belanda bersenjata lengkap mendekati Kalikepiting dengan tank bren carrier milik Inggris.
Dengan membabi buta, serdadu asing itu menembak siapapun bumiputera yang terlihat di sekelilingnya. Melihat hal ini, Moeljono dan Sariredjo justru segera lari ke perbatasan dukuh mereka bermaksud mencegah tentara sekutu masuk.
Sambil berjalan ke perbatasan Kalikepiting, mereka berdua meminta warga untuk mencari tempat berlindung yang aman. Tindakan yang dilakukan dua pejuang ini terbilang cukup nekat karena mereka kalah jumlah dan tak memiliki senjata yang lebih modern dibandingkan musuh.
Tak butuh waktu lama, empat buah peluru tentara Belanda sudah menembus dua pejuang ini. Kepala, kaki, dan tangan Moeljono serta perut Sariredjo menjadi tempat bersarangnya peluru itu.
Setelah tentara penjajah selesai melakukan sweeping, masyarakat setempat kemudian menguburkan jenazah dua pahlawan revolusi ini di Makam Islam Dukuh Kaliwaron (sekarang Mulyorejo Tengah). Kemudian pada 1950-an, makam Moeljono dan Sariredjo dipindahkan ke Makam Pahlawan Ngagel atas instruksi Presiden Soekarno.
Aksi mereka terpatri di ingatan warga Dukuh Kalikepiting. Sehingga mereka berinisiatif membuat patung Moeljono dan Sariredjo sebagai bentuk penghormatan atas gugurnya mereka sebagai kusuma bangsa.
Pada awal pembangunannya di 1950-an, patung ini hanya berbentuk ornamen yang menggambarkan Mulyono sedang menaiki kuda serta Sarirejo yang berjalan kaki sambil menenteng bambu runcing. Namun seiring berjalannya waktu, ornamen tersebut mengalami dua kali renovasi hingga berbentuk patung seperti saat ini.
Saat adanya pemekaran wilayah di Surabaya pada 1970-1980-an, masyarakat juga mengusulkan nama dukuh mereka diubah menjadi Mulyorejo. Usulan tersebut kemudian disetujui, bahkan Mulyorejo yang semula hanya nama kelurahan kemudian dipakai menjadi nama kecamatan pada 1992.
(irb/fat)