Kata Pemerhati Sejarah Soal Pesarean Ki Ageng Pengging di Surabaya

Urban Legend

Kata Pemerhati Sejarah Soal Pesarean Ki Ageng Pengging di Surabaya

Ardian Dwi Kurnia - detikJatim
Kamis, 23 Mei 2024 13:30 WIB
Pesarean Ki Ageng Pengging di Surabaya
Pesarean Ki Ageng Pengging di Ngagel, Surabaya (Foto: Ardian Dwi Kurnia)
Surabaya -

Saat melintas di Jalan Ngagel Surabaya, pengendara bisa menemukan Pesarean Ki Ageng Pengging di sisi utara jalan. Ki Ageng Pengging di pemakaman tersebut diyakini sama dengan Ki Ageng Pengging di Jawa Tengah.

Dalam kisah yang dituturkan juru kunci pesarean, saat hendak dibunuh oleh Sunan Kudus, Ki Ageng Pengging kemudian moksa hingga tiba di Surabaya dan meninggal di pesarean yang ada di Jalan Ngagel tersebut. Namun para pemerhati sejarah memiliki pandangan lain tentang Ki Ageng Pengging yang ada di Kota Pahlawan ini.

Pemerhati sejarah dari Begandring Surabaia, TP Wijoyo mengatakan bahwa kisah tersebut tidak memiliki landasan literatur yang kuat. Ia sendiri meyakini Ki Ageng Pengging dihukum mati oleh Sunan Kudus seperti yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Versi Jawa Tengah dan makam Mbah Pengging di Boyolali itu yang benar. Perkelahian dengan Sunan Kudus di Babad Tanah Jawi menyebutkan adegan itu (Ki Ageng Pengging dihukum mati Sunan Kudus). Ada literasinya kalau yang Jawa Tengah, sedangkan yang di Surabaya ini nggak ada literasi sama sekali," kata TP Wijoyo kepada detikJatim, Kamis (23/5/2024).

Pesarean Ki Ageng Pengging di SurabayaBangunan tempat makam di Pesarean Ki Ageng Pengging (Foto: Ardian Dwi Kurnia)

Ia pun turut mempertanyakan asal-usul makam tersebut. Karena berdasarkan peta lama Soerabaja en Omstreken tahun 1915, TP Wijoyo tak menemukan jejak Pesarean Mbah Pengging di lokasi itu.

ADVERTISEMENT

"Di peta 1915 saja nggak ada. Berarti kan memang nggak ada makam itu (di zaman dulu). Berarti adanya ya mungkin setelah 1915," ujarnya.

Kemudian, TP Wijoyo juga mengaku tak menemukan jejak kekunoan di makam itu. Padahal pada plakat bangunan cagar budaya tertulis bahwa struktur makam tersebut diperkirakan sezaman dengan para wali pada abad ke-15.

"Tidak ada satupun nisan yang kuno (di area makam). Padahal di plakatnya cagar budaya itu ada keterangan makam kuno dengan ciri atau struktur abad 15. Lah kira-kira yang struktur abad 15 itu yang mana? Di sana terlihat baru semua," tutur TP Wijoyo.

Senada dengan TP Wijoyo, pemerhati sejarah dari Surabaya Historical Nur Setiawan juga mengatakan bahwa pesarean tersebut bukanlah tempat peristirahatan terakhir Ki Ageng Pengging. Namun ia tak menampik adanya kemungkinan murid Syekh Siti Jenar tersebut pernah singgah di Surabaya.

"Dari yang pernah aku baca di Babad Tanah Jawi, (Ki Ageng Pengging) yang di Boyolali sama yang di Surabaya ini, kemungkinan, beda orang menurutku," kata Setiawan.

"Tapi ada kemungkinan dulu ketika Ki Ageng Pengging yang di Boyolali sempat (melakukan) pelarian, bisa jadi dulu dia buron hingga ke Surabaya. Tapi kan akhirnya balik lagi ke Jawa Tengah sampai dia dihukum mati di sana," sambungnya.

Jika TP Wijoyo meragukan kekunoan pesarean tersebut, Setiawan memiliki pandangan sedikit berbeda. Ia menduga komplek makam itu terkait dengan peristiwa penaklukan Surabaya oleh Mataram Islam di tahun 1600-an.

Karena Keraton Surabaya kala itu sulit ditaklukkan dengan perang fisik, Tumenggung Mangun Oneng sebagai pemimpin perang dari Mataram Islam mengusulkan sebuah strategi untuk mengalahkan Surabaya dengan serangan biologis yang kelak dinamakan 'Bendungan Jepara'.

Strategi tersebut dilakukan dengan cara membendung sumber air baku Surabaya yang saat ini disebut sebagai Kali Mas, yang terletak persis di depan Pesarean Ki Ageng Pengging Ngagel. Bendungan tersebut dibuat dengan potongan kelapa dan bambu yang ditumpuk bersusun dari dasar hingga ke permukaan sungai.

Saat air sungai sudah tersumbat, pasukan Mataram kemudian memasukkan bangkai hewan yang menyebabkan bau busuk dan penyakit bagi masyarakat. Kemudian buah aren juga diikatkan pada bambu sehingga mengakibatkan penyakit gatal-gatal.

"Proses penaklukan Surabaya ini memerlukan waktu yang lama banget. Mulai pemimpinnya Jayalengkara, sampai meninggal, sampai (dilanjutkan) ke anaknya, Pangeran Pekik. Jadi (sekitar) lima tahun lebih," terang Setiawan.

"Dugaan saya, pesarean tersebut itu pasukannya Ki Mangun Oneng. Di nama-nama tadi (yang terdapat di Pesarean Ki Ageng Pengging), dugaanku nama telik sandi semua itu," tambahnya.

Terkait status cagar budaya pada Pesarean Ki Ageng Pengging, kedua pemerhati sejarah ini sama-sama mempertanyakan rujukan apa yang digunakan untuk menetapkan status tersebut. Selain itu, mereka juga menyangsikan adanya keturunan dari Ki Ageng Pengging Surabaya.

Bahkan Setiawan pernah bertemu dan berdiskusi dengan Erwin P. Sosrokusumo, perwakilan keluarga Ki Ageng Pengging yang menghibahkan komplek makam tersebut kepada Pemkot Surabaya. Namun ia menganggap jawaban dan bukti yang diberikan Erwin masih kurang kuat.

"Aku pernah ketemu yang bersangkutan (Erwin) terus dia ngasih kaya silsilah. Silsilah ini pun oret-oretan tangan dan masih baru," tutur Setiawan.

"Kalau memang ini ada trah yang di sana (Boyolali), harusnya ada serat kekancingan. Kan ada lembaganya yang mengurus itu, ketarik nanti (silsilahnya), ketemu. Itu kan enggak (ada), dia cuma (menunjukkan) oret-oretan tangan biasa yang mungkin ditulis (antara) tahun-tahun 70, 80, 90an, ya kurang kuat," tukasnya.




(hil/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads