Mengenal Makna Tari Tayub dari Nganjuk, Sejarah Hingga Kontroversinya

Mengenal Makna Tari Tayub dari Nganjuk, Sejarah Hingga Kontroversinya

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Rabu, 24 Apr 2024 09:00 WIB
Sejumlah penari mengikuti prosesi tradisi Gembyangan Waranggono atau Wisuda Sinden di kawasan Padepokan Langen Tayub Ngrajek, Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur, Jumat (30/6/2023). Prosesi itu merupakan tahap akhir bagi para penari yang telah menjalani pendidikan menari dan menyanyi Jawa tradisional selama setahun sehingga mereka diakui masyarakat sebagai penari tayub atau pesinden.  ANTARA FOTO/Muhammad Mada/rwa.
Tari Tayub (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Mada)
Surabaya -

Tak diragukan lagi, Indonesia memang memiliki kekayaan budaya yang melimpah. Salah satu perwujudan kekayaan budaya tersebut adalah melalui pementasan tari Tayub dari Nganjuk.

Tarian yang menjadi salah satu warisan budaya Jawa Timur ini telah melekat bersama masyarakat nganjuk sejak lama. Mirip dengan seni tari lainnya, tari Tayub juga melibatkan sinden, pemain gamelan, dan tentunya penari, terutama wanita.


Sejarah Tari Tayub Nganjuk

Tayub merupakan gabungan kata dari "ditata supaya guyub". Artinya, Tayub adalah sebuah jenis tarian yang diciptakan dengan tujuan untuk mempererat hubungan sosial dan menciptakan suasana kebersamaan di antara anggota masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tari Tayub, pemeran pentingnya meliputi waranggana atau penggambyong (wanita yang menari dan menyanyikan lagu Jawa), pengibing (pria dari tamu yang menari bersama waranggana), pramugari (pria yang mengatur jalannya pertunjukan tari tayub), dan pengrawit (kelompok pria yang memainkan gamelan untuk mengiringi tari tayub).

Tari Tayub diyakini telah ada sejak zaman Sunan Kalijaga. Pada mulanya, tarian tersebut dimaksudkan untuk menyatakan rasa terima kasih kepada Dewi Sri, yang merupakan dewi kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Nganjuk.

ADVERTISEMENT

Melalui pertunjukan ini, para petani berharap dapat meraih hasil panen yang melimpah. Dipercayai bahwa dengan adanya penari waranggana di rumah mereka, tanah sawah akan menjadi subur.

Tari Tayub di Nganjuk masih terpengaruh oleh seni yang berkembang di wilayah Mataram, seperti yang terlihat dalam desain busana, tata rias, lagu yang dipilih, dan gerakan tari yang mirip dengan tari Gambyong dari Jawa Tengah.


Busana Penari Tari Tayub Nganjuk

Dalam seni tari tayub, waranggana memakai kostum tradisional Jawa untuk perempuan, seperti kebaya, kemben, kain panjang, dan sampur. Mereka juga menghiasi diri dengan aksesori seperti sanggul, perhiasan, dan bunga.

Mereka memakai busana adat Jawa lengkap, termasuk blangkon, beskap atau batik, sewek, dan sepatu slop. Mereka juga memperindah penampilan dengan aksesoris seperti keris dan bros.

Pengrawit juga memakai pakaian adat Jawa lengkap, mirip dengan pramugari. Namun, untuk pengibing, mereka bebas memilih busana yang mereka kenakan tanpa adanya aturan tertentu untuk berpakaian menarik.


Alat Musik Tari Tayub Nganjuk

Instrumen tradisional yang digunakan dalam pementasan tari tayub mencakup serangkaian alat musik gamelan, seperti kendang, bonang barong, bonang penerus, peking, slenthem, kempul, kenong, rebab, dan gong.

Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam pementasan tersebut memiliki beragam variasi, mulai dari gendhing langen tayub seperti "Pepeling TrisnoSudro" dan "Gelang Kalung", hingga lagu-lagu dangdut modern seperti "Nganjuk Mranani" dan "Alamat Palsu" yang dinyanyikan oleh pedangdut Ayu Tingting.


Gerak Tari Tayub dan Kontroversinya

Dalam pertunjukkan, waranggana memperlihatkan sejumlah gerakan yang meyoritas fokus pada gerakan pinggul, termasuk goyangan, lembehan, ukel penthangan, ukel lembehan, dan jogetan. Gerakan-gerakan ini menggambarkan rasa terima kasih atas panen, doa untuk kehidupan yang lebih baik, keberanian menghadapi roh jahat, semangat, dan ikatan kebersamaan.

Meski memiliki makna yang sangat baik, sayangnya kesenian yang berasal dari Nganjuk ini kerap kali memiliki citra yang negatif di masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa gerakan waranggana terlalu berfokus pada aspek seksualitasnya. Oleh karena itu, waranggana juga disebut ledhek yang memiliki arti menggoda.

Bukan tanpa alasan, hal tersebut muncul karena dalam pertunjukan, waranggana sering kali menunjukkan sikap genit dan gerakan memancing hasrat seksual, seperti mengerlingkan mata, memperlihatkan betis, dan gerakan erotis lainnya. Hal ini juga diperparah oleh aktivitas minum minuman keras selama pertunjukan tari Tayub.

Seiring berjalannya waktu, tari Tayub tak lagi digunakan sebagai sarana ritual, melainkan hanya sebagai sarana pertunjukan dan hiburan masyarakat, terutama saat acara-acara tertentu. Meskipun telah dicap negatif, perlu diketahui bahwa tari Tayub merupakan warisan budaya Indonesia yang juga harus dilestarikan sebagai identitas bangsa.


Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads