Bahasa Jawa memiliki banyak penutur di Indonesia. Bahasa Jawa sendiri mempunyai tingkatan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, dengan menyesuaikan lawan bicara dari berbagai usia.
Tingkatan bahasa Jawa di antaranya adalah ngoko inggil, ngoko alus, karma inggil, dan karma alus. Keempat tingkatan bahasa Jawa tersebut memiliki kosa kata yang berbeda-beda.
Perbedaan Ngoko dan Krama
Bahasa Jawa ngoko inggil, ngoko alus, krama inggil, dan krama alus memiliki perbedaan masing-masing. Berikut perbedaan ngoko hingga krama dalam bahasa Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Ngoko Lugu
Ngoko lugu merupakan tingkatan bahasa Jawa yang biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari. Alasannya karena ngoko lugu merupakan bahasa yang paling sederhana.
Ngoko lugu biasanya digunakan pada percakapan non formal. Seperti percakapan antarteman seumuran, orang-orang yang lebih mudah, dan keluarga. Penggunaan ngoko lugu mudah dipahami siapa saja karena tidak formal dan sederhana.
Contoh:
- Aku mangan sega pecel ning warung (Aku makan nasi pecel di warung)
- Ibu tuku beras ning pasar karo adik (Ibu beli beras di pasar bersama adik)
- Bapak adus ning jeding (Bapak mandi di kamar mandi)
2. Ngoko Alus
Ngoko alus merupakan tingkatan bahasa Jawa yang sedikit formal dibandingkan ngoko lugu. Namun, ngoko alus masih bisa digunakan dalam percakapan non formal. Penggunaan ngoko alus biasanya dipakai seseorang yang lebih muda bercakap dengan yang lebih tua usianya.
Selain itu, ngoko alus juga bisa digunakan percakapan antar teman sebaya. Ngoko alus cenderung lebih formal serta memiliki makna yang halus dibanding ngoko lugu. Struktur kalimat ngoko alus pun lebih kompleks. Berikut ini ciri-ciri ngoko alus yang dikutip dari detikJateng.
- Kata untuk menyapa orang kedua atau ketiga yang berbentuk ngoko diubah menjadi krama atau krama inggil.
- Kata kerja untuk orang lain dalam bentuk ngoko diubah menjadi kromo inggil dan kromo andhap untuk diri sendiri.
- Semua kata yang berkaitan dengan kepemilikan orang kedua diubah menjadi bentuk kromo atau kromo inggil, bukan ngoko.
- Imbuhan (afiks) ngoko pada kata kerja untuk orang kedua tidak perlu diubah menjadi versi kromo.
- Partikel (klitik) dak- dan ku- tidak menjadi kula, sedangkan kok- dan -mu berubah jadi panjenengan.
Contoh:
- Winginane simbah tindak mrene (Kemarin nenek datang ke sini)
- Bu guru basa Jawa iku asmane sapa? (Bu guru bahasa Jawa itu namanya siapa?)
- Pakdhe wangsul wonten Surabaya (Paman pulang ke Surabaya)
Baca juga: 5 Sifat Umum Orang Jawa |
3. Krama Lugu
Krama lugu atau karma madya merupakan bentuk dari ragam karma yang tingkatan kata halusnya masih rendah. Namun, jika dibandingkan dengan ngoko alus, maka tetap saja krama lugu akan lebih halus.
Krama lugu merupakan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa yang memiliki kosa kata bahasa karma. Terdapat imbuhan ngoko yang diberikan dalam penggunaan bahasa karma lugu, seperti -e, -di, -ake. Namun terkadang juga masih terdapat imbuhan seperti -aken, -dipun, dan -ipun tetapi tidak terlalu banyak digunakan. Tujuannya agar derajat karma lugu mudah dibedakan dengan karma alus.
Contoh:
- Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake? (Ini batiknya mana yang akan ditukarkan?)
- Buk, njenengan wau dipadosi simbah (Buk, kamu tadi dicari nenek)
- Pak Bayan, sampeyan mboten siyos kesah? (Pak Bayan, Anda tidak jadi pergi?)
4. Krama Alus
Karma alus merupakan tingkatan bahasa Jawa yang paling formal dan paling sopan. Krama alus biasanya digunakan untuk bercakap dengan orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya.
Kata-kata dalam krama alus sangat kompleks. Bahasa Jawa krama alus biasanya juga digunakan pada upacara keagamaan, upacara adat, pertemuan resmi, dan lain sebagainya.
Contoh:
- Ibu ngunjuk jampi beras kencur (Ibu minum jamu beras kencur)
- Kula diparingi arta bapak gangsal ewu rupiah (Aku diberi uang bapak lima ribu rupiah)
(irb/sun)