Orang Jawa yang pertama kali merantau atau main ke Jakarta sangat wajar mengalami culture shock. Berikut ini sederet contohnya.
Sebutan orang Jawa pada umumnya mengarah pada mereka yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebab dua provinsi tersebut, mayoritas warganya merupakan Suku Jawa.
Secara istilah, culture shock diartikan sebagai perasaan cemas yang menyebabkan hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Culture shock biasa dialami di setiap tempat baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti yang dialami orang Jawa saat pertama kali merantau ke Jakarta. Sebab, ada banyak perbedaan antara daerah di Jawa dengan ibu kota. Mulai dari soal budaya hingga kulinernya. Culture shock juga lumrah dialami orang Jakarta saya merantau atau liburan ke daerah Jawa.
Berikut ini sederet contoh culture shock orang Jawa saat pertama kali merantau atau main ke Jakarta. Kebanyakan soal kuliner.
Culture Shock Orang Jawa di Jakarta:
1. Sajian Pecel
![]() |
Di Jawa, hidangan pecel berupa sayur-sayuran yang direbus kemudian diperas untuk menghilangkan airnya. Lalu disiram menggunakan saus kacang, dan dapat disantap bersama gendar atau nasi biasa, lauk gorengan, telur dadar, atau peyek.
Namun, hal berbeda justru dijumpai di Jakarta. Ketika Anda memesan pecel di kota megapolitan, hidangan ini terdiri atas lele atau ayam goreng yang disajikan bersama dengan lalapan, sambal, dan nasi hangat sebagai pelengkap.
2. Sajian Ayam Geprek
![]() |
Ayam geprek adalah makanan yang cukup populer. Selain harganya yang relatif murah, porsi yang disuguhkan terbilang mengenyangkan.
Di Jawa, makanan ini berupa ayam goreng yang diulek sampai hancur, kemudian ditambah dengan sambal di atasnya atau terkadang diulek bersamaan dengan ayam gorengnya. Sehingga rasanya akan lebih merata.
Hal berbeda akan ditemui di Jakarta. Di mana ayam geprek justru tidak digeprek atau diulek, melainkan hanya ayam goreng biasa yang di atasnya diberi sambal.
3. Menu Sarapan
![]() |
Di Jawa, orang-orang biasanya mengawali pagi mereka dengan menyantap sarapan berupa makanan hangat dan ringan di lambung. Seperti soto bening, nasi liwet atau bubur ayam.
Namun masyarakat di Jakarta banyak yang menjadikan mi ayam sebagai menu sarapan. Mi ayam tergolong makanan berat yang memiliki kadar kolesterol dan garam yang cukup tinggi, sehingga tidak baik apabila dikonsumsi sehari-hari.
4. Penyebutan 'Lontong' pada 'Arem-arem'
![]() |
Arem-arem merupakan makanan khas berupa nasi yang diisi dengan sayuran atau sambal goreng, kemudian dibungkus menggunakan daun pisang. Hampir sama dengan lontong yang dibungkus dengan daun pisang, akan tetapi makanan yang satu ini tidak memiliki isian apapun.
Sehingga masyarakat Jakarta seringkali keliru menyebutkan Arem-arem sebagai lontong.
5. Penggunaan Konsep Jarak
![]() |
Bagi orang Jawa yang tinggal di daerah jarang terjadi kemacetan, waktu tempuh perjalanan selama 15-30 menit itu relatif dekat. Selebihnya dapat dikategorikan sebagai perjalanan menuju perbatasan kota atau luar kota.
Bagi warga Jakarta, perjalanan yang memakan waktu selama kurang lebih 2 jam itu terbilang dekat, bahkan masih kota. Itu dikarenakan jalanan yang padat akan kendaraan menyebabkan kemacetan terjadi di mana-mana. Sehingga untuk menempuh perjalanan jarak dekat harus memakan waktu yang lebih lama.
6. Panggilan 'Mbak' Berkonotasi Lain
![]() |
Di Jawa, panggilan mbak seringkali digunakan untuk menyebut seseorang yang lebih tua berjenis kelamin perempuan. Akan tetapi, di Jakarta panggilan mbak memiliki makna lain.
Beberapa warga Jakarta bahkan menolak dipanggil dengan sebutan mbak. Itu dikarenakan penggunaan sapaan mbak tak jarang dipakai untuk memanggil seorang pembantu atau asisten rumah tangga (ART).
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/iwd)