Anak Muda Diajak Lestarikan Jamu Usai Diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya

Anak Muda Diajak Lestarikan Jamu Usai Diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya

Esti Widiyana - detikJatim
Selasa, 02 Jan 2024 16:22 WIB
Pembuat jamu  godogkan atau jamu tradisional melayani pembeli di warungnya, Kadipiro, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (3/10). Simbah pembuat jamu godogan tersebut sudah melayani pembeli sejak tahun 60an dimasa pemerintahan presiden Soekarno.  Jamu tradisional ini juga digemari Joko Widodo semasa menajdi walikota Surakarta hingga sekarang. Setiap harinya pedagang mampu menjual sekitar 1000 gelas perharinya dengan harga 2000 pergelas.
Ilustrasi. Jamu tradisional. (Foto: Agung Mardika/detikcom)
Surabaya -

Pada 6 Desember 2023, UNESCO telah mengakui Jamu sebagai warisan budaya Indonesia. Karena telah diakui sebagai warisan budaya, anak muda Indonesia harus turut melestarikan dengan cara meminum jamu.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Mangestuti Agil MS menyebutkan bahwa dengan adanya pengakuan UNESCO itu, seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan untuk meminum jamu. Apalagi minuman tradisional itu memiliki berbagai manfaat.

"Konsumsi jamu harus tetap diimbangi dengan penerapan pola hidup yang sehat. Ramuan jamu jangan dipandang sebagai obat. Kalau kita pandang sebagai obat, kita hanya minum kalau kita sakit. Itu yang agak kurang tepat menurut saya," ujar Prof Mangestuti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mengatakan bahwa generasi muda harus mau mencoba dan memanfaatkan bahan alam ramuan jamu. Tentunya hal ini harus disertai dengan kondisi yang menunjang kinerja bahan jamu itu.

"Kalau tubuh kita sudah berada dalam keadaan tidak seimbang, supaya jadi seimbang kita harus bantu dengan pola hidup sehat. Pak Menteri Kesehatan bilang, jamu ada vitamin, mineral. Bukan cuma itu. Ada zat khusus dalam bahan alam namanya zat bioaktif. Nah contoh zat bioaktif antara lain golongan alkaloid, terpenoid, fenol. Golongan-golongan begitu yang tidak ada di obat sintesis," katanya.

ADVERTISEMENT

Ia menyadari anak-anak muda saat ini tidak sedikit yang mengembangkan usaha untuk membuka kios jamu. Ada beberapa produk yang sering ditemukan, bahan herbal yang diracik dan dicampur susu atau soda belum bisa disebut jamu, melainkan minuman herbal yang berasal dari bahan alam.

"Misalnya minuman rosella. Rosella warnanya, kan, merah, kaya sirup gitu. Oh itu bagus banget, tapi bukan minuman jamu. Itu minuman herbal. Jadi paling tidak dengan minum bahan herbal mengurangi bahan kimia yang masuk ke tubuh kita," ujarnya.

Kemenkes telah mencanangkan gerakan minum jamu yang menurutnya perlu dipupuk dengan bantuan pendidikan melalui keluarga. Media massa, kata Mangestuti, juga memiliki peran penting untuk menampilkan figur-figur yang rajin meminum jamu.

"Kemudian peran tenaga kesehatan dalam segala sektor. Tenaga kesehatan siapa saja? Dokter, farmasi, perawat semua itu perlu lebih paham minum jenis jamu atau ramuan dan dengan dalam menerapkan pola hidup sehat," pungkasnya.




(dpe/fat)


Hide Ads