Suku Tengger yang menetap di sekitar Pegunungan Bromo, merupakan salah satu suku yang masih melestarikan tradisi para leluhur. Seperti tradisi Mayu Desa yang wajib dilakukan Suku Tengger sebagai wujud keharmonisan hubungan antarmanusia dengan alam sekitarnya.
Secara administratif, Suku Tengger menghuni beberapa wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, di antaranya Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Dalam sistem kepercayaan, Suku Tengger meyakini bahwa asal-usul seluruh penduduk dari cikal bakal desa, dan ketergantungan bersama pada roh-roh penguasa tanah dan air. Sebagian dari mereka ada yang mengaku beragama Islam, dan yang lain Hindu atau Buddha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 99 Warisan Budaya Tak Benda Jawa Timur |
Meskipun demikian, mereka melakukan persembahan terhadap roh leluhur dan perlindungan desa, menekankan upacara komunal, serta toleransi antaraumat Islam dan Hindu yang dibuktikan dengan adanya tradisi Mayu Desa.
Tradisi Mayu Desa adalah sebuah upacara wajib yang dilaksanakan untuk mengekspresikan rasa syukur terhadap nikmat yang telah mereka dapatkan. Menariknya, tradisi ini melibatkan proses penyembelihan hewan korban yang berkaitan dengan tradisi megalitik, karena ada unsur kepercayaan akan kekuatan magis.
Tradisi Mayu Desa Suku Tengger
Tradisi Mayu Desa adalah hajatan yang diselenggarakan secara massal di Punden Tunggul Payung atau Tunggul Sari, di Dusun Keduwung, yang berada di bukit sebelah barat daya desa. Tujuannya agar Punden Tunggul Sari atau Dhanyang Banyu selalu mengayomi warga dusun dan menjauhkan mereka dari marabahaya.
Berikut penjelasan mengenai proses pelaksanaannya dikutip detikJatim dari jurnal Upacara Korban dalam Tradisi Mayu Desa, Tradisi Megalitik Tengger (Studi Etnoarkeologi) karya T.M. Hari Lelono.
1. Persiapan Upacara
Para sesepuh desa akan mengadakan pertemuan untuk membentuk susunan kepengurusan. Ketua pelaksana atau sinoman bersama para warga memiliki peran masing-masing.
Seluruh keperluan upacara dipusatkan di balai dusun, termasuk kegiatan memasak dan pembuatan sesaji. Setidaknya persiapan ini dilaksanakan selama kurang lebih seminggu atas arahan dan petunjuk dukun serta perangkatnya, meliputi sanggar (wakil dukun), legen (pembantu dukun), dan sesepuh.
2. Penyembelihan Kurban
Penyembelihan hewan kurban menjadi syarat utama dalam pelaksanaan tradisi Mayu Desa yang dilakukan sehari sebelum puncak acaranya. Biasanya, hewan yang dikurbankan adalah seekor kerbau, akan tetapi terkadang diganti menjadi sapi atau hewan bertanduk dan berjenis kelamin lainnya.
Penyembelihan ini dilakukan oleh dukun dengan posisi kepala binatang mengharap ke selatan, tepatnya ke arah gunung karena diyakini sebagai tempat bersemayam roh leluhur. Dengan begitu, binatang kurban tersebut dapat langsung menghadap ke roh leluhur.
Dukun akan mengucapkan mantra dan menghadap ke arah selatan, yaitu Gunung Bromo sambil memegang parang pendek sebelum akhirnya binatang kurban tersebut disembelih.
Setelah binatang tersebut mati, dadanya disayat hingga ke tulang, lalu diberi sesaji berupa rempah-rempah. Bagian telinga kanan dan kiri, serta lidah ditempatkan di tanah sebagai persembahan bagi bumi. Kepala binatang kurban diletakkan di bawah sanggar agung dengan menghadap ke arah selatan atau Gunung Bromo.
3. Pembuatan Sesaji
Setelah kegiatan makan bersama, pada sore harinya para legen dibantu sesepuh mulai mengerjakan pembuatan sesaji, yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai momotan (muatan) kurepan sapi yang akan dibawa ke punden.
Beberapa jenis sesaji tersebut, yaitu tumpeng beras, sega tamping, bakale jenang, beras pitrah, kembang manden, suruh agung, pras sanding, bantenan, dandanan danyang banyu, reregen, takir janur, takir kecil, lima buah gedang ayu, dan ajang malang.
4. Semeninga atau Upacara Pembuka
Semeninga adalah upacara pembuka yang menandakan dimulainya rangkaian tradisi Mayu Desa. Upacara pembuka ini dilakukan pada malam hari sebelum Mayu Desa dengan dipimpin sanggar.
Adapun urutan dalam semeninga adalah sebagai berikut.
- Bagian kepala dan kulit kurban diletakkan di atas anyaman bambu, dan disimpan di bawah sanggar agung dengan posisi menghadap ke arah Gunung Bromo bersama sesajian lainnya yang dinamakan srawa satus.
- Sanggar akan meminta izin dan menyampaikan tujuannya menyelenggarakan tradisi Mayu Desa ini sebagai persembahan kepada para leluhur yang dilanjutkan dengan menikmati sesajian.
- Acara Pesaitan menjadi pembuka semeninga. Sanggar akan merapalkan japamantra semeninga dengan menghaturkan mekakat berupa sesaji, kemudian sanggar bersama perangkat dukun akan melahap hidangan.
- Dukun akan melakukan upacara di bale wetan sebelah timur ruang menghadap ke timur, di mana telah terdapat lima buah petra (boneka) dengan gedang ayu sebanyak lima buah, dan beberapa sesajian lainnya. Dukun dan sanggar akan saling berhadapan membacakan mantra agar roh leluhur datang menempati singgasana yang telah disediakan, yakni gedang ayu.
- Pada upacara Semeninga Rakang Tawang, roh leluhur akan diminta untuk datang. Dukun akan membacakan mantra agar roh dapat masuk ke dalam petra dengan menghadap ke arah timur.
- Upacara pembuka ini diakhiri dengan tarian tledekan sampai pukul 2 dini hari.
5. Upacara Mayu Desa
Masyarakat desa mulai berdatangan ke balai dusun mengenakan pakaian adat kebaya dan jarit. Sedangkan kaum laki-laki mengenakan pakaian adat Tengger berupa ikat kepala berwarna hitam untuk orang tua.
Upacara diawali dengan arak-arakan ketika sang dukun Tengger sudah datang, hewan kurban diletakkan di atas ancak bambu, kemudian dibawa ke luar balai desa bersama sesajian lengkap. Setelah dukun membacakan doa, proses arak-arakan akan dimulai diiringi dengan musik gamelan menuju Punden Tunggul Payung.
Sanggar memulai ritual dengan menghaturkan tujuan acara sekaligus salam kepada dhanyang. Para hadirin akan diminta makan makanan yang telah dihidangkan. Setelah selesai makan, dukun akan bersiap memimpin upacara.
Dukun akan mengadap ke arah sesaji sambil merapalkan japamantra. Selanjutnya, ponjoyo mengambil air walagara dari gelas dan dioleskan ke daun pisah, kemudian diusapkan ke peserta ritual.
Dukun berdiri dengan membawa anglo pedhupan yang di dalamnya terdapat kemenyan. Kemudian, dukun akan memercikkan air tersebut sambil merapalkan japamantra.
Selanjutnya, sinden memberikan minuman keras kepada dukun dan ponjoyo, lalu menari bersama diiringi lantunan gending sebanyak tiga lagu, yaitu Eling-eling, Congkek, dan Kembang Jeruk. Setelah selesai menari, upacara Mayu Desa pun berakhir di punden. Sesaji akan dibagikan kepada seluruh masyarakat desa.
Upacara dilanjutkan dengan ke Punden Banyu di bawah kaki bukit bersama dukun yang selalu menghadap ke Gunung Bromo dan diiringi gending. Proses ini melibatkan masyarakat desa sebagai penebusan hajat yang dulu pernah diucapkan.
Setelahnya, dilanjutkan ke Punden Mbok Kainah di dalam makam desa, dan terakhir di Dhanyang Prapatan. Upacara di Dhanyang Prapatan menandakan berakhirnya seluruh rangkaian upacara Mayu Desa yang ditujukan kepada roh leluhur, dan akan dilaksanakan kembali lima tahun mendatang.
Dengan harapan, masyarakat desa setempat dapat menjalankan kehidupan dengan tenang, seperti membangun tempat tinggal, mengadakan upacara pernikahan, dan sebagainya. Pada malam harinya, masyarakat akan menggelar tayuban sebagai puncak acara Mayu Desa.
(irb/sun)