Shodanco Supriyadi merupakan pahlawan yang berjuang dalam Pemberontakan PETA melawan pasukan Jepang. Pascapemberontakan, Supriyadi menghilang secara misterius.
Setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat, Jepang berusaha menarik perhatian penduduk pribumi di Hindia Belanda. Jepang membentuk propaganda yang dipimpin oleh Mr Syamsuddin.
Propaganda tersebut menghasilkan istilah Saudara Tua. Yang menunjukkan Jepang menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat membebaskan Indonesia dari perlakuan para penjajah Inggris, Belanda, dan Amerika.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Biografi KH Hasyim Asy'ari |
Mengutip jurnal Peran Penting Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dalam Perjuangan Meraih Kemerdekaan Indonesia karya Gathut Imam Gunadi, Jepang membentuk formasi tentara yang dinamakan Pembela Tanah Air (PETA). Itu sebagai wadah bagi para pemuda untuk belajar ilmu kemiliteran, sekaligus membangkitkan jiwa patriotisme pemuda Indonesia.
Namun, pihak serdadu mulai menunjukkan sikap semena-mena terhadap rakyat pribumi. Tidak sampai pada penderitaan rakyat pribumi yang diakibatkan sistem kerja paksa (romusha). Akan tetapi Jepang memberlakukan peraturan di mana para anggota PETA wajib memberikan hormat kepada serdadu Jepang meskipun pangkatnya lebih rendah.
Akhirnya, Supriyadi bersama anggota PETA lainnya melakukan pemberontakan melawan tentara Kekaisaran Jepang demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bulan Februari 1945, ia memimpin pemberontakan tersebut terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar.
Biografi Shodanco Supriyadi:
1.Masa Kecil Supriyadi
Supriyadi mempunyai nama asli Priyambodo. Ia dilahirkan pada tanggal 13 April 1923 di Trenggalek, Jawa Timur.
Ayahnya merupakan seorang pegawai Pamong Praja bernama Darmadi, dan Ibunya bernama Rahayu. Saat ia masih kecil, ibunya meninggal dunia, lalu sang Ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan kerabatnya bernama Soesilih.
Priyambodo diasuh oleh Sosrodihardjo, ayah dari Soelisih yang berprofesi sebagai mantri guru di Kertosono. Kelebihan yang dimiliki oleh Priyambodo telah tercium oleh Sosrodihardjo. Oleh karena itu, sang kakek tiri memutuskan untuk mengganti nama Priyambodo menjadi Supriyadi.
Sosrodihardjo memberikan nasihat kepada sang cucu agar kelak menjadi seseorang yang berjiwa pahlawan. Seperti halnya pahlawan pada lakon pewayangan yang lebih mengutamakan kepentingan orang banyak. Supriyadi juga dibekali dengan ilmu-ilmu kejawen, meliputi tirakat, nglakoni, semedi, dan sebagainya.
2. Pendidikan dan Karier Supriyadi
Supriyadi menempuh pendidikan formal yang memadai pada masa kolonial Belanda, yakni di Europesche Lagere School atau sekolah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar di Indonesia. Kemudian meneruskannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau Sekolah Menengah Pertama di Madiun.
Ia kembali melanjutkan pendidikannya di sekolah Pamong Praja dan berjalan dengan mulus. Ia termasuk anak yang cerdas. Setelah itu, Supriyadi memutuskan bergabung pada latihan semi militer kepemudaan di Tangerang pada zaman kependudukan Jepang.
Setelah berhasil menamatkannya, Supriyadi menjadi anggota Bo-ei Gyugu, pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Ia ditempatkan di Peleton 1 Kompi III Pasukan PETA di Blitar sebagai komandan.
3. Pemberontakan PETA
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) didirikan pada 3 Oktober 1943, oleh seorang Panglima Tentara Angkatan Darat Jepang ke-16 Letjen Kumakici Harada, melalui Osamu Seiri Nomor 44 yang mengatur tentang pembentukan PETA.
Tujuannya untuk melindungi wilayah Tanah Air Indonesia dari serangan Sekutu. Akan tetapi bangsa Indonesia melihat pembentukan pasukan tentara PETA sebagai persiapan menuju kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1944, rakyat pribumi dihadapkan dengan situasi sulit. Kehidupan perekonomian mereka semakin memburuk.
Para penduduk desa harus bekerja keras demi sesuap nasi yang tidak mencukupi untuk menghilangkan rasa lapar. Apalagi memberikan cukup gizi. Hal ini disebabkan karena hasil bumi yang didapatkan dari lahan persawahan mereka dibabat habis oleh para Kumiai. Itu lembaga koperasi yang dibentuk oleh Jepang.
Melalui propaganda yang dilakukannya, pihak Jepang menganggap romusha sebagai pahlawan yang dapat memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Nyatanya, rakyat pribumi hanya dijadikan sebagai budak.
Hal itu menyulut semangat perjuangan prajurit PETA melakukan pemberontakan, guna membebaskan rakyat pribumi dari kesengsaraan. Pemberontakan PETA yang terjadi di wilayah Blitar menjadi gerbang utama yang mendorong PETA memperjuangkan hak dan kewajiban negaranya untuk merdeka. Beberapa pemberontakan lainnya juga terjadi di beberapa wilayah yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatra.
3. Peran Supriyadi dalam Pemberontakan PETA
Mengutip jurnal Peran Shodancho Supriyadi dalam Memimpin Perlawanan Tentara Pembela tanah Air (PETA) di Blitar Terhadap Penjajah Jepang karya Mohamad A'inur Rofiq, Supriyadi diberikan pangkat Shodanco atau Komandan Peleton. Itu kepangkatan dari kalangan pelajar pribumi dalam ketentaraan PETA. Shodanco Supriyadi dan Muradi bersama rekan-rekannya menjadi lulusan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor.
Setelah itu mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) di Blitar. Di sisi lain, ia melihat penderitaan rakyat pribumi akibat tindakan tentara Jepang.
Tentara PETA pun diwajibkan memberi hormat kepada serdadu Jepang terlepas dari pangkat mereka. Hal ini mengusik kehormatan tentara PETA. Pada September 1944, Shodanco Supriyadi mengadakan pertemuan rahasia untuk merencanakan aksi revolusi menuju kemerdekaan melalui gerakan pemberontakan.
Para pemberontak PETA mengajak komandan-komandan batalyon dari berbagai wilayah untuk bekerja sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat. Namun, pemberontakan itu digagalkan oleh pimpinan tentara kekaisaran Jepang yang telah mencium rencana pemberontakan yang dilakukan oleh Shodanco Supriyadi.
Di tengah situasi sulit, Shodanco Supriyadi tetap mempertahankan rencananya. Ia menyerukan agar para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA yang tidak mau memberontak. Namun, sasaran utama mereka adalah memukul mundur pasukan Jepang.
Tanggal 14 Februari 1945, pukul 03.00, pasukan PETA yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang merupakan kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang. Salah seorang bintara PETA merobek poster bertuliskan Indonesia Akan Merdeka dan mengubahkan menjadi Indonesia Sudah Merdeka.
Pemberontakan ini dipadamkan oleh pasukan militer Jepang dalam waktu singkat. Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar ditangkap dan dipenjara. Tanggal 16 Mei 1945, sebanyak enam orang dijatuhi hukuman mati di Ancol, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.
4. Hilangnya Shodanco Supriyadi
Pasca Pemberontakan Blitar terjadi, Shodanco Supriyadi menghilang secara misterius. Peristiwa itu menjadi suatu misteri sejarah nasional Indonesia yang belum menemukan titik terang.
Setelah proklamasi dibacakan, Presiden Soekarno mengangkat Shodanco Supriyadi sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, karena keberadaannya belum diketahui, Presiden Soekarno melantik Muhammad Sulitoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan RI saat itu.
Satu hari setelah kemerdekaan, Jepang yang dikalahkan memutuskan untuk membubarkan pasukan PETA. Atas jasanya, pemerintahan Indonesia mengangkatnya sebagai salah satu penggerak kemerdekaan yang diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/iwd)