Hari Sumpah Pemuda 2023 sudah di depan mata. Hayo, siapa nih yang dapat tugas bikin cerpen tentang Sumpah Pemuda?
Cerita pendek (cerpen) adalah jenis cerita yang kurang dari 10.000 kata, yang memberikan kesan tunggal yang dominan, dan hanya memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.
Hari Sumpah Pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda merupakan momentum bersejarah yang wajib diperingati, karena menjadi pondasi awal bersatunya para pemuda Indonesia dari berbagai daerah, dalam perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam momen Sumpah Pemuda, generasi muda bisa memanfaatkan karya sastra seperti cerpen, untuk menyampaikan pesan demi memajukan bangsa. Tak jarang, banyak juga pelajar yang mendapat tugas membuat cerpen tentang Sumpah Pemuda.
Berikut ini beberapa contoh cerpen Sumpah Pemuda yang dapat kamu jadikan sebagai referensi. Cerpen-cerpen di bawah ini dikutip dari situs Komunitas Pegiat Cerpen, Cerpenmu.
![]() |
Contoh Cerpen Sumpah Pemuda:
Contoh 1: Sumpah Pemuda
Pagi ini, matahari menyapaku dengan sinarnya. Kulitku terasa hangat seolah-olah cahaya memelukku. Menyelamatkanku dari dinginnya pagi. Kurekahkan harapan untuk menepis kabut kelam.
Kulihat bendera Merah Putih yang masih berkibar di depan rumah, sisa dari acara 17 Agustus kemarin. Rasa nasionalisme ini tampak menakutkan oleh semangatnya saat melihat bendera pusaka. Merah darah juga putih tulang manusia. Kemanusiaan itu seperti terang pagi ini.
Akan tetapi, orang-orang telah memuat bendera Merah Mutih mereka usai perayaan 17 Agustus kemarin. Apa-apaan ini? Apa salahnya jika ia berkibar setiap hari? Apakah bendera itu menutup rumahmu yang cantik itu? Mengapa rasa nasionalisme mereka seperti itu? Apa yang mereka rasakan jika memiliki sifat nasionalisme? Entahlah.
Baiklah, aku siap untuk pergi ke pagi ini.
Aku ingin melihat para junior yang sedang berlatih teater untuk Hari Sumpah Pemuda besok. Apakah mereka berseni dengan rasa nasionalisme atau berseni karena sentuhan Hari Sumpah Pemuda besok? Saya tidak tahu, berlatih saya tidak sabar ingin melihat mereka.
Setelah 30 menit perjalanan menuju kampus akhirnya saya sampai. Dengan damai aku ke sanggar tempat mereka berlatih.
"Selamat pagi semuanya!" Ucapku dengan semangat.
"Pagi Kak Agung!" Jawab mereka dengan senyuman pagi yang masih matang.
"Baguslah, mereka bersemangat sepertiku."
Tiba-tiba datang selembar kertas terbang ke arahku, jatuh di depan kakiku.
Tulisan ini lengkap dengan tulisan dan setelah itu adalah isinya Teks Sumpah Pemuda.
Seorang pemuda berlari ke arahku mendorong surat yang terlanjur aku pegang.
"Maaf kak itu kertas saya hehehe."
"Kamu hanya menghafalnya?"
"Iya kak untuk upacara yang akan dilaksanakan dalam rangka Sumpah Pemuda nanti"
"Apakah kamu hanya menghafalkan tetapi tidak melakukannya?"
"Sekarang kan Indonesia sudah merdeka kak jadi tidak perlu dikhawatirkan kita harus mengikuti langkah pemuda zaman dahulu"
"Mengikuti mungkin, tapi pemuda sekarang lebih mengagungkan Negara lain. Contoh kecil yang akan saya beri tahu apakah Anda melihat akun profil game apapun yang pasti ada orang Indonesia yang mengubah bendera akun mereka menjadi bendera asing. Benar tidak? Apa alasannya? Lebih keren bendera asing malu pakai bendera Indonesia? Dari situ sudah kelihatan kalau dia tidak nasionalisme dan tidak akan terhormat negaranya sendiri."
Pemuda itu mengangguk lagi dan tetap mendengarkanku berbicara.
"Ingat, sampai kapan pun tidak ada yang namanya kebebasan. Kamu akan terus terjajah oleh bangsamu dan diri sendiri. Dahulu kita dijajah negara lain atas nama kolonial, setelah merdeka kita masih bisa dijajah. Menjajah sendiri atas obsesi dan kehendak berkedok nafsu demi eksistensi yang membawamu ke arah yang sesat. Apa yang Anda tidak sadari bahwa Anda tidak merawat jiwa nasionalisme dan melupakan bagianmu yang rapuh?" Tambahku.
"Saya bersedia kak. Saya akan mencintai Tanah Air dan menjadi pemuda berkarakter tinggi. Saya akan mengajak teman yang lain untuk menghayati Sumpah Pemuda ini."
Keesokan harinya pada tanggal 28 Oktober pemuda itu membacakan Sumpah Pemuda dengan semangat nasionalisme.
Aku mengerti, dia membacakan sumpah pemuda itu dengan hati yang membara.
Tatapan matanya yang tajam menandakan bahwa sumpah pemuda yang disuarakannya itu bukan sumpah main-main.
Merinding membuat semua siswa ikut membacakan Sumpah Pemuda itu secara serentak dan kuat. Bayangkan jika semangat ini diterapkan ke semua pemuda yang ada di Indonesia. Indonesia takkan terkalahkan dengan sumpah pemuda yang membara dalam hati para pemuda nasionalisme.
Contoh 2: Perjalanan Perjuangan
Tak ada kata mundur maupun menyerah. Selalu maju untuk Indonesia.
Dalam sebuah gerombolan kelompok di desa Aruan. Orang-orang tersebut melaksanakan upacara. Mereka tak peduli dengan keadaan tubuhnya, keringat yang bercucuran, wajah yang dipenuhi dengan memar, dan beberapa bagian tubuh yang tergores mengakibatkan darah mengalir membasahi pakaian yang mereka kenakan, tidak membuat mereka menghentikan upacara tersebut. Hari ini mereka mengibarkan bendera kebangsaan Indonesia, bendera Merah Putih. Mereka tidak takut akan ada pasukan yang akan menyerang mereka.
Setelah upacara selesai, tiba-tiba ada seseorang yang berlari. Orang tersebut terengah-engah, darah segar mengalir dari pelipisnya dan juga bahu kanannya yang tertembak.
"Mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Kalian segera bersiap-siaplah," ujar seorang itu yang bernama Roni.
"Yang lain siapkan senjata kalian. Kita tidak boleh takut dan menyerah. Merdeka!" ucap Dewa.
"Dan kau Roni sebaiknya kau segera obati lukamu itu." Roni mengangguk dan memasuki salah satu gubuk yang terdapat peralatan medis.
Tak lama kemudian, datang segerombolan lawan yaitu penjajah. Mereka membawa pasukan yang cukup banyak dan juga berbagai alat senjata.
Salah satu dari mereka berjalan ke depan yang diyakini adalah pemimpinnya. "Turunkan bendera itu atau kalian semua akan mati!" perintah tegas pria itu.
"Tidak akan!" seru Dewa lantang.
Dengan geramnya pria itu berdecih dan berujar, "SERANG!"
Lalu terjadilah pemberontakkan yang amat dahsyat. Beberapa dari mereka ada yang telah gugur.
"Satu kesempatan untukmu Dewa, jika kau menuruti perintahku. Aku akan menghentikannya." ucap Maxim, penjajah itu yang menginjakkan tubuh Dewa yang tak berdaya.
"Tidak!"
"Apa kau tidak takut? Jika kau menolaknya aku akan menghabisi kalian semua."
"Kami tidak takut mati untuk Indonesia!"
Maxim menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Dewa. "Jika itu maumu. Akan kuhabisi kau. Bersiap-siaplah bertemu dengan ajalmu. Haha..."
Maxim menodongkan sebuah pistol tepat ke arah kepala Dewa.
Sedangkan Dewa menatap tajam penuh amarah, tak ada sedikitpun rasa takut yang melandanya.
DOR!
Tidak! Darah segar mengalir keluar begitu banyaknya. Bukan, sebelum maxim menembak Dewa, tak kalah cepat dengan Roni yang terlebih dahulu menembak Maxim. Walau salah sasaran hanya terkena pelipis kaki Maxim tapi sudah cukup melumpuhkan pemimpin itu. Dengan tenaga yang tersisa Dewa bangkit dan berdiri lalu menerjang Maxim.
Beberapa dari mereka ada yang melihat pemimpinnya sedang bergulat dengan Dewa.
"Cepat kita bantu Maxim." ucap salah satu dari mereka dan berlari menghampiri Maxim dan Dewa.
Tapi sebelum sampai Roni bersama yang lain mencegahnya dan pertempuran itu belum selesai.
Sedangkan di lain tempat para wanita sedang mengobati beberapa orang yang terluka akibat pertempuran.
Seorang anak laki-laki yang sekitar berumur 10 tahun itu menghampiri ayahnya yang terbaring lemah. Dengan isakan tangisnya ia berkata, "Aku berjanji akan membalas para penjajah itu. Ini milik Indonesia, mereka tidak berhak. Ayah, izinkan aku untuk ikut berperang," lirih anak itu sambil menggenggam tangan ayahnya.
"Nak, ibu sangat khawatir jika kau ikut. Kau masih terlalu kecil," sendu ibu anak itu.
"Bu, Delon mampu. Delon sebelumnya sudah pernah berlatih dengan ayah. Jadi izinkan Delon ya bu. Demi Indonesia," ujar Delon beralih menatap dalam mata ibunya dan menggenggam kedua tangan ibunya. Meyakinkan bahwa ia mampu untuk ikut melawan penjajah itu.
"Kak Dewa sudah mengizinkannya bu," lanjutnya lagi.
"Baiklah, jaga dirimu. Ibu selalu berdoa, semoga Allah selalu melindungimu, Aamiin."
"Aamiin bu, terima kasih." Delon memeluk ibunya erat dan mengecup kening sang ibu.
Setelah Delon pamit ia bergegas keluar dengan membawa beberapa senjata. Delon berlari terus berlari, tak jarang ia bersembunyi jika ada penjajah yang berkeliaran. Sesampainya di tempat tujuan yaitu Desa Aruan. Anak laki-laki tersebut bergabung bertempur dengan yang lainnya.
Tak ada rasa takut dalam jiwanya, yang ada hanya kilatan atau kobaran semangat. Dengan cekatan yang begitu lihainya ia mampu menangkis lawannya dengan gerakan cepat lalu menembak tepat ke arah jantung seketika musuhnya tumbang dan mati.
Dari arah belakang salah satu penjajah itu menghantam kepala Delon, hingga ia terjatuh dan terbentur sebuah batu yang mengakibatnya darah keluar.
Delon menyeka darah itu, dengan senyuman devilnya ia menangkis sebuah pistol dan anah panah.
"Kau payah tuan," remeh Delon.
"Eh anak kecil. Sudahlah bermain-mainnya," seru pria itu.
"Ya akan kusudahi jika tuan sudah mati di tanganku."
Dengan sekali lemparan, pisau yang Delon lempar mendarat dengan sempurna di bahu pria itu.
"Arghhh! Brengsek!" ringis pria itu kesakitan.
Pertempuran itu memakan waktu selama 2 jam. Pada akhirnya Maxim memerintahkan seluruh pasukan untuk berhenti dan mundur.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Dewa kepada Delon.
"Saya tidak papa."
"Kau bagus sekali melawan beberapa dari mereka," ujar Roni
"Bocah yang pemberani." Dewa menepuk bahu Delon dan menariknya ke tempat gubuk itu.
"Duduklah akan kuobati luka di kepalamu itu." perintah Dewa yang di angguki oleh Delon.
"Aku ingin sekali menghabisi mereka semua para penjajah yang kotor," geram Delon.
"Aku juga," timpal Roni.
Satu tahun telah berlalu, selama itu mereka masih dijajah akan tetapi tak membuat mereka menyerah sedikitpun. Delon kini telah resmi menjadi anggota pertempuran itu. Walau usianya dibawah umur tapi ia begitu lihai saat berperang melawan penjajah.
Delon, Dewa, Roni dan bersama yang lain kembali berjaga-jaga. Karena kemarin malam mereka kembali mendapatkan ancaman dari para penjajah itu.
Hari semakin siang tapi tak kunjung ada pasukan yang datang, tapi tak berapa lama mereka datang tanpa aba-aba langsung menyerang begitu saja.
Kembali terjadi perang.
"Kau bocah sialan kali ini aku akan membunuhmu!" ucap Maxim yang sudah terdapat beberapa tembakan di bagian tubuhnya. Dengan sisa tenaga ia meraih pistolnya dan menembak Delon yang belum sempat menghindar.
Dan Maxim seketika menghembuskan napas terakhirnya setelah menembak, sedangkan Delon terjatuh dan memegangi bagian dadanya yang tertembak.
Delon memejamkan matanya sejenak lalu melihat arah bendera yang berkibar.
"Merdeka, negeri tercintaku," lirihnya.
Dewa yang melihat itu segera menghampiri Delon. Tapi ia terlambat Delon sudah tiada bersama beberapa temannya yang telah gugur.
Kilatan amarah dan semangat Dewa memerintahkan seluruh pasukannya untuk terus maju.
Dengan tekat yang kuat dan semangat yang mampu dikibarkan dalam jiwa mereka pada akhirnya para penjajah itu menyerah.
Dan kini Indonesia bebas mengibarkan bendera mereka. Senyum bahagia terpancar dan tangisan harupun menghiasi wajah mereka.
"Pahlawan sejati ibarat cahaya yang selalu menerangi Indonesia. Laksana bintang di langit, ia tetap berkelip memandu para pejuang mengarungi samudera luas nan lepas dalam gelap. Meski ketika orang tidak lagi menatap langit.
Pahlawan sejati tidaklah butuh pujian dan pandangan mata manusia.
Dia terus memancarkan cahaya karena kesungguhannya.
Karena keikhlasannya, dan karena kecintaannya pada tanah air."
Contoh 3: Untukmu Tanah Airku
Sudah beberapa tahun saya mengenyam pendidikan akademi militer. Dan hari ini adalah hari pertama saya bekerja sebagai TNI. Sejak dahulu saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi seorang TNI, sejak kecil saya ingin menjadi pemain sepakbola, toh sepakbola juga bisa membuat bangsa Indonesia bangga.
Namun kedua orangtua saya sama sekali tidak setuju jika saya berkarier di sepakbola. Saya sangat kesal sekali ketika orangtua menyuruh saya untuk berhenti bermain sepakbola sebelum terlambat, karena menurut mereka sepakbola tidak menjamin masa depan saya nantinya. Karena kakek saya adalah seorang pejuang kemerdekaan, orangtua saya menyarankan saya untuk masuk sekolah kemiliteran. Apalagi ayah sangat ngotot untuk memasukkan saya ke sekolah kemiliteran walaupun ia sendiri adalah seorang pengusaha tekstil.
Awalnya saya tidak mau menuruti apa kata mereka, karena saya berhak menentukan masa depan saya sendiri bukan mereka. Tetapi lambat laun saya berpikir jika menjadi seorang TNI tampaknya akan membuat tantangan tersendiri bagi saya, apalagi jika saya nanti ikut berperang melawan musuh yang mencoba untuk memasuki wilayah Indonesia, dan semua bangsa Indonesia pun akan bangga dengan saya. Dan sejak saat itu pula saya memutuskan untuk menuruti apa kata orangtua saya.
Hari ini saya bertugas di Papua, saya ditugaskan oleh komandan untuk menjaga keutuhan NKRI karena di wilayah Indonesia belahan timur ini diduga ada teroris yang bersembunyi ditambah adanya konflik antara warga Timika, Papua yang semakin membuat wilayah Indonesia bagian timur ini sangat tidak aman. Saya harus meninggalkan istri dan satu anak saya di Jakarta selama beberapa bulan ke depan demi tugas dari negara. Saya dan beberapa rekan saya terus memantau wilayah Papua ini. Saya selalu bersemangat jika dalam tugas ini Boni rekan terbaik saya asal Maluku selalu diikutsertakan bersama saya, ia adalah rekan saya yang murah senyum dan selera humornya sangat tinggi. Boni selalu bisa membuat saya dan rekan yang lainnya tertawa dengan candaannya itu walaupun di kondisi yang sangat genting sekalipun.
Tak terasa, suara azan pun berkumandang walaupun di tempat yang cukup terpencil ini. Saya dan rekan lain yang beragama Islam langsung mengambil air wudhu dan solat magrib di rumah warga. Saya sendiri dipercaya sebagai imamnya. Ketika selesai rakaat terakhir, terdengarlah suara tembakan dari arah belakang, suaranya sangat jelas sekali. Apa yang terjadi? Apakah para teroris itu datang untuk menyerang pasukan kami ketika kami sedang khusyuk beribadah? Saya sangat khawatir sekali dengan Boni yang sedang ada di belakang karena ia tidak ikut solat bersama saya karena Boni adalah seorang kristiani. Saya berharap jika Boni bisa menjaga dirinya. Saya dan rekan-rekan yang selesai solat langsung menuju ke arah tembakan, saya melihat salah satu dari kami yang terkapar dengan darah yang mengalir, syukurlah lukanya bisa ditangani dengan cepat. Kami pun menyusul Boni yang mengejar para tawanan yang diduga teroris itu ke hutan, nekat sekali mereka menyerang kami dengan gegabah. Kami yakin malam ini juga kami bisa menangkap mereka hidup-hidup atau mati. Nampaknya perang akan segera dimulai.
Selama pengejaran ke hutan yang sangat kurang penerangan, saya selalu ingat istri dan kedua anak saya yang ada di rumah. Saya rela mati demi mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia dan membuat rakyat Papua kembali hidup dengan tenteram tanpa adanya teror dari para manusia biadab. Kami terus berlari sambil menenteng senjata yang ukurannya cukup panjang dan berat. Kami kembali mendengar suara tembakan dari arah yang cukup dekat, kami pun mencoba untuk mempertahankan diri dan bersembunyi di semak-semak sambil melihat-lihat apabila ada musuh. Berani sekali mereka menantang kami, apa mereka tidak tahu jika kami dilatih selama bertahun-tahun untuk menangkapnya atau bahkan membunuhnya jika mereka terus-menerus meneror manusia yang tak bersalah? Saya melihat sekelebat bayangan berlari dengan baju serba hitam, dan jelas sekali itu adalah musuh kami, dan saya langsung menembak ke arah bayangan itu dan saya berhasil melumpuhkannya, kakinya terkena tembakan hasil bidikan saya. Ternyata ia bodoh sekali mencoba untuk berlari. Kami segera menangkap orang itu dan kembali mengejar mereka yang lolos.
Sekitar jam sepuluh malam kami berhasil melumpuhkan sekitar 4 terduga teroris itu dan berusaha untuk melumpuhkan sisa-sisanya yang masih berkeliaran di tempat ini. Di bawah pohon pinus itu saya melihat ada seseorang yang terkapar, dan jelas itu adalah pasukan dari kami. Orang itu adalah Boni rekan baik saya yang berselera humor tinggi, ia mengerang kesakitan dengan luka di perutnya, gawat sekali lukanya sangat parah sementara perlengkapan medis terletak sangat jauh sekali. Ketika akan saya gendong, ia malah menolaknya dan berkata kepada saya "Habisi nyawa mereka Boy, jangan sampai mereka lolos, selamatkan tanah Papua ini, tugasku berakhir di sini, ucapkan salam kepada mereka dariku Boy, selamat jalan..", dan tak lama dari itu Boni memang benar-benar menghembuskan napas terakhirnya. Saya kehilangan kawan terbaik selama di akademi militer, Boni si pembuat tawa para TNI terutama saya. Saya tidak boleh bersedih, saya harus terus melanjutkan tugas ini dan menangkap semua manusia biadab itu.
Sembilan jam perang berlangsung, kami berhasil melumpuhkan mereka terduga teroris itu, sebagian dari mereka ada yang selamat dan sebagian lagi ada juga yang tewas. Boni dan kedua kawan saya yang lain gugur di medan perang. Saya sendiri menderita luka di bagian kaki sehingga saya harus segera dilarikan ke rumah sakit bersama rekan-rekan yang lain yang juga menderita luka untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Saya puas berhasil menuntaskan tugas saya dengan baik, tugas dari negara untuk menangkap mereka hidup ataupun mati. Dan saya pun berhasil mengabulkan permintaan terakhir Boni. Semoga Boni tersenyum melihat keberhasilan kami.
Satu minggu kemudian kami disambut bak pahlawan oleh pemerintah, saya hadir untuk menerima penghargaan dari presiden dengan tubuh terduduk di kursi roda. Istriku yang mendorong kursi roda itu. Di pojok sana, kedua anak saya tersenyum senang melihat ayahnya diberi penghargaan oleh presiden. Saya dan semua rekan yang lain yang bertugas di Papua diberikan kehormatan yang cukup tinggi dengan diberinya penghargaan ini atas berhasilnya menumpaskan para kawanan teroris yang beberapa tahun terakhir ini banyak sekali mengganggu rakyat. Yang hidup maupun yang tewas diberikan sebuah penghargaan dan kehormatan termasuk Boni si periang itu. Saya bangga dengan pencapaian ini, namun ini semua belum seberapa. Saya masih ingin menjaga kedaulatan NKRI ini dengan segenap jiwa saya sampai akhir hayat saya. Selepas terlepas dari kursi roda ini, saya akan kembali berlatih untuk menangkal ancaman yang mengganggu kedaulatan negara saya tercinta ini, Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/fat)