Larangan menikah di bulan Suro atau bulan Asyura atau bulan Muharram sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jawa. Berikut ini ulasan singkatnya.
Dalam penelitian tentang Adat Larangan Menikah di Bulan Suro Dalam Prespektif URF (2017), dijelaskan mengenai latar belakang larangan menikah di bulan Suro. Penelitian itu dilakukan Zainul Ula Syaifudin, mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, seperti dikutip dari situs resmi kampus.
Setelah studi kasus di Desa Wonorejo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Zainul menyimpulkan latar belakang larangan menikah di bulan Suro adalah karena masyarakat Jawa tidak ingin bulan Suro dijadikan bulan untuk bersenang-senang. Termasuk pernikahan yang identik dengan pesta besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara filosofis, perilaku masyarakat tersebut merupakan simbol penghormatan terhadap kisah-kisah agung yang terjadi bertepatan dengan bulan Suro atau Muharram. Salah satu kisah agung itu adalah peristiwa pembantaian 72 anak keturunan Nabi dan pengikutnya, yang ditandai dengan gugurnya Sayyidina Husein atas restu Khalifah Yazid bin Mu'awiyah.
Terlebih, masyarakat Jawa terkenal dengan kaidah sopan santunnya. Jika menggelar pesta atau bersenang-senang pada bulan Suro dirasa kurang sopan kepada leluhur. Jadi, waktu yang ada lebih baik digunakan untuk berprihatin atau meratapi kisah-kisah besar di balik bulan Suro.
Mengutip situs resmi Nahdlatul Ulama (NU), Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar juga mengungkap filosofi tradisi pelarangan menggelar pesta pada bulan Asyura atau bulan Muharram. Larangan itu untuk menghormati keluarga Rasulullah SAW yang berduka.
"Dilarangnya menggelar pesta atau acara besar pada bulan Asyura adalah bagian dari adab kita terhadap habaib. Pada bulan itu, ahlul bait termasuk para habaib sedang berduka," terangnya.
Ia menjelaskan Muharram merupakan bulan prihatin bagi anak cucu Rasulullah SAW. Sebab, cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib mengalami pem-bully-an hingga terbunuh. Sehingga Asyura dianggap bulan duka.
Baca juga: 8 Tradisi Malam 1 Suro di Jatim |
Pengasuh Pesantren Sabiilul Rosyad Malang itu mengatakan, seseorang yang mengaku cinta nabi tidak pantas menggelar pesta pada bulan Muharram. Termasuk pesta pernikahan.
"Di mana hatimu, ayo dijaga adabnya," kata Kiai Marzuki.
Menurutnya, kiai Jawa ingin menghormati dan menjaga hati ahlul bait dan habaib, sampai-sampai membuat aturan untuk tidak mengadakan pesta atau acara besar di bulan Asyura. Umat Islam tidak pantas bersenang-senang saat mengingat wafatnya Husain.
(sun/dte)