Melihat Ulur-ulur, Tradisi Memperpanjang Usia Mata Air di Tulungagung

Melihat Ulur-ulur, Tradisi Memperpanjang Usia Mata Air di Tulungagung

Adhar Muttaqien - detikJatim
Jumat, 09 Jun 2023 18:00 WIB
upacara adat ulur-ulur di Tulungagung
Warga 4 desa di Tulungagung gelar upacara adat ulur-ulur untuk rasa syukur atas air kehidupan (Foto: Adhar Muttaqien)
Tulungagung -

Telaga Buret di Kecamatan Campurdarat, Tulungagung memberikan limpahan air bagi masyarakat empat desa, meski terhimpit di antara industri marmer. Warga pun menggelar upacara adat Ulur-ulur sebagai simbolisasi rasa syukur atas tersedianya air kehidupan.

Upacara ini digelar setahun sekali oleh masyarakat Kasepuhan Tirta Mulya (KTM) pada hari Jumat Legi bulan Sela dalam penanggalan Jawa. Upacara diawali dengan kirab aneka macam sesaji dengan diiringi oleh para dayang serta anggota Kasepuhan Tirta Mulia dari Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong dan Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat.

Masyarakat empat desa tersebut menjadi penerima manfaat keberadaan kawasan Telaga Buret seluas 22,8 hektare.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Telaga Buret, Karsi Nero Sutamrin, mengatakan upacara adat Ulur-ulur telah digelar secara turun-temurun sejak nenek moyang.

upacara adat ulur-ulur di TulungagungFoto: Adhar Muttaqien

"Upacara semacam ini sudah ada sejak lama. Ini sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan, atas karunia air yang melimpah. Sehingga bisa dimanfaatkan untuk empat desa," kata Karsi Nero, Jumat (9/6/2023).

ADVERTISEMENT

Usai dikirab keliling desa, aneka sesaji tersebut dibawa ke pelataran Telaga Buret untuk dilakukan prosesi inti Ulur-ulur, yakni ziarah dan jamasan sepasang patung Joko Sedono dan Dewi Sri. Kedua patung ini merupakan representasi Buga Wastra atau sandang pangan.

Prosesi jamasan dilakukan oleh tokoh adat setempat yang mendapatkan mandat dari kasepuhan. Dengan perlahan, patung dimandikan dan didandani. Setelah rangkaian jamasan selesai dilanjutkan dengan tabur bunga di Telaga Buret.

"Ulur-ulur ini artinya adalah ndawakne banyu (memperpanjang air) agar tetap berfungsi dan tetap muncul. Tidak hanya secara doa, tapi kita lakukan dengan tindakan menjaga lingkungan," ujarnya.

Upaya penyelamatan melalui aksi nyata itu telah dilakukan secara kontinyu dengan menjaga dan merawat tumbuhan yang ada di sekitar telaga. "Setiap saat kita merawat dan tiap tahun ada reboisasi," jelasnya.

Menurutnya prosesi upacara adat tersebut tidak hanya sebagai simbol rasa syukur, namun juga pengingat bagi masyarakat untuk terus berupaya melakukan penyelematan lingkungan, khususnya kawasan telaga.

Jerih payah menjaga kawasan telaga kini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Mata air dari Telaga Buret terus ada dan bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan masyarakat. Meskipun di sekitar lokasi banyak terdapat industri marmer, hingga kini Telaga Buret tetap eksis hingga saat ini.

"Tradisi Ulur-ulur ini sebagai puncaknya dari rasa syukur warga. Makanya tadi warga berbondong-bondong membawa aneka macam kue, setelah didoakan dibagi dan dimakan bersama," jelas Karsi.

Menurutnya kawasan Telaga Buret memiliki luas kawasan konservasi 22,8 hektare. Aneka tumbuhan, tumbuh dengan subur di kawasan tersebut. Tak hanya itu, ratusan kera juga hidup secara alami di lokasi tersebut.

Namun yang kini menjadi tantangan adalah menjaga green belt Perhutani yang berada di sekitar telaga. Kondisi hutan tersebut dinilai perlu mendapatkan perhatian serius, karena banyak ditanami aneka komoditas pertanian.

"Greenbelt yang di kawasan Perhutani sebagai penyangga kita itu ada sekitar 60 hektare. Untuk yang 22 hektare tanamannya aman, masyarakat juga sadar diri pentingnya telaga. Untuk green belt di atas ada yang ditanami petani, ya karena urusan perut," imbuh Karsi Nero.

Sementara itu Bupati Tulungagung Maryoto Birowo, berharap masyarakat terus melestarikan warisan budaya Ulur-ulur serta melestarikan lingkungan.

"Selain budaya, lingkungannya harus dijaga, agar telaga ini tetap lestari," kata Maryoto.




(abq/iwd)


Hide Ads