Pemkab Tulungagung menggelar upacara tradisi jamasan pusaka tombak Kiai Upas. Konon pusaka ini dipakai bupati sebagai komando untuk menghalau masuknya penjajah.
Upacara diawali kirab Reog Kendang untuk mengiringi dayang-dayang yang membawa air suci dari sembilan mata air. Air itu diserahkan kepada Bupati Tulungagung Maryoto Birowo dan disiapkan untuk menjamas pusaka Kiai Upas.
Selanjutnya, pusaka dikeluarkan dari lokasi penyimpanan di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Tulungagung, dipimpin langsung oleh Bupati Maryoto. Pusaka legendaris itu kemudian dilakukan proses pencucian oleh tokoh masyarakat setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maryoto menjelaskan tradisi jamasan pusaka ini rutin digelar setahun sekali setiap bulan Sura (penanggalan Jawa). Tradisi ini adalah bentuk pelestarian budaya yang telah ada secara turun temurun.
"Jamasan ini rutin kami lakukan. Pusaka ini adalah peninggalan bupati terdahulu," kata Maryoto, Jumat (12/8/2022).
Usai jamasan, sejumlah pusaka itu kembali dibungkus dan disimpan di tempatnya. Maryoto mengatakan, konon pusaka Kiai Upas punya keistimewaan.
Salah satu keistimewaan pusaka tersebut diceritakan terjadi di era penjajahan Belanda. Pusaka itu digunakan sebagai komando untuk menghalau masuknya tentara penjajah ke wilayah Tulungagung.
"Makanya pusaka tetap kami rawat dan jamasan ini menjadi agenda budaya di Tulungagung," ujarnya.
Sementara itu juru kunci tombak Kiai Upas Winarto menjelaskan bahwa pusaka itu telah ada sejak tahun 1800-an. Selanjutnya, pusaka itu dirawat secara turun temurun oleh Bupati Tulungagung.
Ia menjelaskan sebelum menjalankan prosesi jamasan Kiai Upas juru kunci akan melalukan ritual dengan puasa, antara tanggal 9 atau 10 Sura.
"Yang puasa saya. Kemudian untuk jamasan itu menggunakan air dari sembilan mata air, dibersihkan dengan sikat dan jeruk nipis," kata Winarto.
Setelah dijamas, pada permukaan pusaka itu akan diberi minyak Cendana. Tujuannya supaya pusaka itu tidak berkarat dan tetap harum.
(dpe/iwd)