Syiar Islam di Malang Raya tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Masjid At Thohiriyah di kawasan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang. Masjid di Bungkuk ini diyakini dibangun pengikut Pangeran Diponegoro pada abad 18.
Takmir Masjid At Thohiriyah KH Moensif Nachrawi menuturkan masjid didirikan seorang bekas laskar Pangeran Diponegoro bernama Hamimmuddin yang datang ke wilayah Singosari.
"Hamimmuddin merupakan anggota Laskar Pangeran Diponegoro, ini menjadi bagian dari laskar yang semburat tercerai berai usai Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tahun 1930. Beliau kemudian datang ke Singosari dan mendirikan masjid Bungkuk ini," ujar KH Moensif Nachrawi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya nggak bisa mengatakan pasti karena saya tidak pernah ada survei, yang jelas di sini (masjid) dibangun abad 18," imbuhnya.
Dari situlah kemudian Hamimmuddin memulai aktivitas dakwahnya. Hal ini sebagaimana pesan Pangeran Diponegoro yang harus terus menyebarkan agama Islam di manapun laskarnya berada.
Hamimmuddin pun memulai dakwah dengan mendirikan gubuk kecil sebagai tempat syiar agama Islam. Saat itu wilayah setempat masih berupa hutan.
"Daerah ini masih hutan belantara, dia (Hamimmuddin) bikin gubuk karena terbuat dari bambu, dari gedek dari daun-daunan kecil, untuk mengajar mengaji dan salat. Dan digunakan mengajar ngaji di lingkungan orang-orang yang mayoritas Hindu saat itu," tuturnya.
Pelan tapi pasti, agama Islam menyebar luas ke beberapa daerah di sekitar Singosari. KH Moensif menyebut, faktor mudah tersebar dan diterimanya masyarakat, karena Islam tidak mengenal kasta-kasta sebagaimana di agama Hindu.
![]() |
Hal ini yang memicu masyarakat utamanya golongan sudra atau rakyat bawah, tertarik belajar agama baru saat menerima informasi tersebut.
"Di luar dugaan Kiai Hamimmuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong, sebab musababnya agama Hindu mengenal empat kasta dari brahmana yang tertinggi sampai sudra yang terendah," ungkap pria 88 tahun itu.
Saat didirikan, bangunan dalam terdapat empat tiang penyangga. Tiang ini lah yang masih dipertahankan hingga kini. Empat tiang itu membentuk persegi dan dilapisi kayu jati dengan ukiran ayat-ayat kursi di atasnya.
Sedangkan tingginya sekitar 5 meter menjulang dengan 4 sisinya yang berkaitan. Masjid Bungkuk sudah melalui beberapa kali pemugaran, hingga kesan tradisional tak tampak lagi. Belum lagi bangunan masjid yang juga dipenuhi ukiran kaligrafi dan keramik indah, kian mengesampingkan kesan masjid tua.
Namun seiring waktu, akhirnya Kiai Hammimuddin yang memiliki 7 orang anak menyerahkan pengelolaan pondok pesantren dan masjid kepada menantunya KH Thohir ulama asal Canggaan, Bangil, Pasuruan.
KH Thohir disebut masih satu angkatan dengan ulama karismatik asal Madura Syaikhona Kholil.
(abq/dte)