Salah satu jejak sejarah perkembangan musik di tanah air adalah bentuk fisik album yang telah dilahirkan oleh para musisi. Baik berupa piringan hitam, kaset, juga CD dan DVD. Semua itu ada di sini.
Adalah Museum Musik Indonesia. Satu-satunya museum bertema musik yang ada di Indonesia, berlokasi di Kota Malang. Tepatnya di Gedung Kesenian Gajayana, Jalan Nusakambangan Nomor 19, Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen.
Piringan hitam, kaset, CD, hingga DVD musisi di tanah air mulai era Gombloh dan Dara Puspita hingga grup-grup yang masih menelurkan album fisik ada di museum ini. Begitu juga majalah musik.
Pendirian museum ini melalui perjalanan yang cukup panjang hingga akhirnya bisa diakui dan diresmikan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI pada 19 November 2016.
Ketua Museum Musik Indonesia Ratna Sakti Wulandari menceritakan awal mula berdirinya museum ini. Mula-mula museum itu bernama Galeri Malang Bernyanyi. Sebuah galeri yang dibangun 6 orang Komunitas Pecinta Kayutangan.
"Disebut Komunitas Pecinta Kayutangan ini karena orang-orang yang ada di dalamnya dulu sering berburu kaset di sana. Kayutangan dulu terkenal jadi tempat jualan kaset loak," ujar Nana sapaan akrabnya saat ditemui detikJatim, Kamis (9/3/2023).
Salah satu pendiri Museum Musik Indonesia Hengki Herwanto turut mengenang kaset pertama yang didapat pada sekitar tahun 2009. Saat itu ada 5 kaset yang dia terima dari mitra kerjanya di Sidoarjo.
"Kaset pertama didapat dari donasi pada 2009 itu ada 5 kaset. Saya ingat sampai saat ini kasetnya Gombloh. Dapat dari mitra kerja di Sidoarjo," ujarnya kepada detikJatim.
Hengki mengatakan saat ini ada 45 ribu koleksi yang berada di Museum Musik Indonesia. Puluhan ribu koleksi itu terdiri dari kaset, CD, piringan hitam, majalah, busana hingga sejumlah instrumen musik baik dari musisi terkenal di Indonesia hingga luar negeri.
Uniknya, dalam menyimpan koleksi-koleksi itu, pengelola mengklasifikasikan daerah asal musisi atau asal grup band tersebut. Sedangkan untuk penyanyi luar negeri dibagi dalam 5 benua.
"Kaset itu ada dari tahun 70-an. Kalau CD dimulai tahun 80-an. Sedangkan piringan hitam atau vynil itu dari tahun 50-60. Dari tahun itu paling tua sampai lagu-lagu baru saat ini, seperti Dmasiv dan banyak lagi," ujarnya.
Sumbangan kaset maupun CD itu terus ada. Para penyumbang ini bisa berasal dari masyarakat, atau dari musisi itu sendiri. Bahkan baru seminggu yang lalu, kata Hengki, ada salah satu rekannya yang menyumbang cukup banyak kaset.
"Ada salah satu tetangga saya di Jalan Citarum seminggu lalu nyumbang kaset cukup banyak. Dia berikan sekitar 30 kaset dan yang saya ingat salah satunya kaset-kaset Kanta Takwa dan Iwan Fals," katanya.
Hengki mengatakan bahwa tujuan para donatur memberikan koleksi itu supaya ada yang merawat. Sebagian besar para pemilik koleksi itu mengaku sayang bila kaset-kaset itu dibuang. Apalagi itu dikumpulkan selama bertahun-tahun.
"Karena mungkin sayang kalau dibuang dan supaya usaha mereka dalam mengumpulkan itu tidak sia-sia," ujarnya.
Dahulu bernama Galeri Malang Bernyanyi. Baca di halaman berikutnya.
(dpe/sun)