Banyak bangunan kuno di Lamongan yang hingga kini masih kita jumpai terpelihara dengan baik, bahkan masih digunakan hingga sekarang. Salah satu bangunan kuno tersebut adalah Langgar Dhuwur atau Langgar Panggung yang berada di pusat kota Lamongan, tepatnya di Jalan Kyai Amin Lamongan.
Sesuai namanya, Langgar Dhuwur atau langgar panggung yang berada di Kampung Kenduruhan, Kelurahan Sidokumpul, Kecamatan Lamongan ini lebih tinggi dari bangunan sekitarnya karena menggunakan tiang penyangga. Langgar Dhuwur ini didirikan oleh KH. Mastur Asnawi atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Yai Mastur sekitar tahun 1919 dan sampai sekarang masih digunakan sebagai aktivitas keagamaan.
"Langgar Dhuwur ini didirikan oleh KH Mastur Asnawi dan usianya sudah lebih dari seabad," kata Dzihan Zahriz Zaman, dzuriyah KH Mastur Asnawi saat berbincang dengan detikJatim, Kamis (9/2/2023).
Bangunan Langgar Dhuwur ini berada di tepi jalan dan berbentuk rumah panggung. Kalau dulu tiang penyangga langgar atau surau ini terbuat dari kayu, kini tiang penyangga langgar tersebut telah direnovasi atau diganti dengan cor beton. Keseluruhan bangunan, termasuk bentuk dan kayu yang ada di langgar atau surau ini juga masih dipertahankan hingga sekarang.
"Semuanya masih asli dan tetap kami pertahankan, kecuali tiang penyangga yang kami ganti dengan cor semen," ujar Zahriz.
Bangunan Langgar Dhuwur ini memiliki luas sekitar 8 meter persegi dan cukup unik. Pasalnya, selain ditopang oleh penyangga panggung setinggi sekitar 2 meter, surau ini juga tidak memiliki pintu utama.
Akses masuk ke surau ini melalui tangga yang terbuat dari kayu yang ada di sisi lantai panggung sebelah selatan yang juga masih dipertahankan menggunakan lantai dari kayu. Bentuk atap bangunan ini juga memperlihatkan bangunan pada masanya, yaitu berbentuk atap limasan yang menutupi semua bagian langgar.
"Langgar Dhuwur ini hingga kini masih kita pakai untuk kegiatan keagamaan, seperti ngaji dan lainnya, yaitu pada akar utama ketika masjid ini didirikan," ungkapnya.
Dinding bangunan juga masih dipertahankan dengan tetap menggunakan kayu papan. Ada 2 pintu di dalam surau ini yang berfungsi sebagai pintu masuk ke gudang dan tempat penyimpanan yang terbuat dari kayu. Selain itu, ada 2 buah jendela utama di bangunan yang juga terbuat dari kayu. Berada tepat di tepi jalan, ciri fisik bangunan yang berbentuk panggung dan tidak ada bangunan lain di bawahnya membuat bangunan surau mudah dikenali dan diketahui.
"Bangunan ini sebenarnya dibangun sebagai bangunan majelis taklim yang didirikan oleh almarhum Mbah Yai Mastur Asnawi," ungkap Zahriz.
Berdasarkan kisah sejarah yang ia dengar, Zahriz menyebut jika KH Mastur Asnawi sengaja tidak mendirikan pesantren dan santri mukim. Harapannya, lanjut Zahriz, seluruh warga Lamongan bisa ikut ngaji di langgar panggung ini.
Sosok KH Mastur Asnawi, tambah Zahriz, adalah tokoh Lamongan yang punya kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan, termasuk juga mencetuskan pendidikan untuk kaum perempuan di masa kolonial.
"Warga sekitar Kenduruhan sini mengenal tempat ini sebagai langgar panggung atau langgar dhuwur. Kalau secara pasti dibangun tahun berapa saya belum tahu pasti, tapi yang jelas langgar Dhuwur ini dibangun sebelum Masjid Agung Lamongan berdiri, dibangun ketika beliau pulang dari berguru di Madinah," ungkapnya.
Sepanjang pengetahuannya, papar Zahriz, Langgar Dhuwur ini sudah pernah direnovasi sebanyak 3 kali, yaitu pertama mengganti tiang penyangga panggung yang semula dari kayu diganti dengan cor semen agar langgar tetap bisa berfungsi dengan baik.
Renovasi selanjutnya adalah penambahan tegel di bawah langgar dan penambahan tempat wudu dengan tetap mempertahankan sumur yang juga dibangun berbarengan dengan langgar.
(sun/iwd)