Kota Batu merupakan salah satu dari 9 kota di Jawa Timur. Luas wilayahnya mencapai 199,09 km2, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Batu, Kecamatan Junrejo dan Kecamatan Bumiaji.
Ketiga kecamatan tersebut terbagi menjadi 20 desa dan 4 kelurahan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, jumlah penduduk Kota Batu sekitar 214.653 jiwa.
Wilayah Kota Batu bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan. Sementara bagian barat, selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Malang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Asal-usul Nama Dusun Memek di Jombang |
Kota Batu berada di dataran tinggi dengan ketinggian 700 sampai 1.700 meter di atas permukaan laut. Tak heran, suhu udara di sana cenderung dingin.
Ada 3 gunung di Kota Batu yang telah dikenal oleh masyarakat. Yaitu Gunung Panderman, Gunung Arjuna, dan Gunung Welirang.
Mengutip dari situs resmi Pemerintah Kota Batu, wilayah tersebut dikenal sebagai tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Medang pada abad ke-10. Saat itu, Mpu Sindok memerintahkan seorang petinggi kerajaan bernama Mpu Supo, untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan, yang dekat dengan mata air.
Setelah berusaha keras, Mpu Supo menemukan sebuah kawasan yang sesuai dengan kriteria. Kini, kawasan tersebut lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Mpu Sindok, Mpu Supo mulai membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Mpu Supo juga membangun sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
Mata air yang mengalir tak jauh dari tempat peristirahatan itu, sering digunakan untuk mencuci keris-keris sakti dari Kerajaan Medang. Kegiatan mencuci keris sakti itu membuat mata air yang semula terasa dingin menjadi mata air panas. Sampai saat ini, mata air panas tersebut menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Berdasarkan kisah dari mulut ke mulut, sebutan Kota Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro. Mengutip dari buku Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe karya Zaenuddin HM, ulama tersebut bernama Abu Ghonaim atau dikenal sebagai Kyai Gubug Angin.
Usai Perang Jawa berakhir, Abu Ghonaim membuka hutan di lereng Gunung Panderman untuk memulai kehidupan baru. Abu Ghonaim mengajarkan pengalaman dan pengetahuannya yang diperoleh dari Pangeran Diponegoro kepada masyarakat setempat.
Berkat keberadaan Abu Ghonaim, masyarakat yang sebelumnya terpecah dalam berbagai komunitas dapat menyatu di lereng Gunung Panderman. Abu Ghonaim lebih akrab disapa Mbah Wastu.
Kebiasaan masyarakat Jawa, sering mempersingkat nama seseorang yang dirasa terlalu panjang. Akhirnya sapaan Mbah Wastu disingkat menjadi Mbah Tu, Mbatu atau Batu. Nama tersebut kemudian digunakan untuk sebuah kota dingin di Jawa Timur ini.
Dulu, Kota Batu merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Pada 6 Maret 1993, Batu ditetapkan sebagai kota administratif. Kemudian, Batu ditetapkan sebagai kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang pada 17 Oktober 2001.
Pada awal abad ke-19, banyak orang Belanda yang membangun rumah dan bermukim di Kota Batu. Tampak dari banyaknya bangunan berarsitektur khas Belanda, yang dapat ditemukan di Kota Batu.
Belanda menyamakan keindahan Kota Batu dengan Switzerland. Mereka memberikan predikat Kota Batu sebagai De Klein Switzerland atau Swis Kecil di Pulau Jawa.
Hingga kini, Kota Batu masih menjadi salah satu tujuan bagi para wisatawan. Itu terbukti dari jumlah kunjungan wisatawan Kota Batu yang naik hingga 59 persen pada 2021. Berbagai destinasi wisata dapat ditemukan di Kota Apel. Mulai dari taman rekreasi, desa wisata, pantai hingga museum.
Simak Video "Berfoto di Taman Bunga Pagupon dan Mengabadikan Keindahannya, Kota Batu "
[Gambas:Video 20detik]
(sun/sun)