Di antara banyak agama yang ada, diceritakan tentang gambaran kehidupan setelah mati. Ada yang akan masuk surga atau sebaliknya masuk neraka. Gambaran siksa neraka itu terpahat di salah satu relief Candi Jago yang dibangun atas perintah Raja Singhasari Kartanegara di abad ke-13.
Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono mengungkapkan gambaran siksa neraka di Candi Jajaghu atau lebih populer dengan sebutan Candi Jago yang terpahat di relief cerita Kunjarakarna, letaknya di dinding bawah teras pertama dari sisi timur laut candi.
Dalam relief itu telah digambarkan secara rinci tentang neraka, lebih tepatnya siksa neraka. Bagaimana keberuntungan Yaksa bernama Kunjarakarna setelah bertobat dan memohon pengampunan kepada Wairucana. Sehingga diberi kesempatan oleh-Nya untuk mengobservasi neraka.
Kunjarakarna dapat menyaksikan neraka dengan mata kepala sendiri tentang bagaimana para pendosa disiksa di neraka, sesuai jenis dan bentuk dari perbuatan dosa yang dilakukan ketika hidup di dunia.
Gambaran bagaimana pedih dan beratnya siksa neraka akhirnya menyadarkan Kunjarakarna untuk kemudian perlu berperilaku baik (subhakarma) serta hidup secara benar di dunia.
"Pemahat pada cerita relief ini tampaknya sengaja menggambarkan kondisi neraka amat mengerikan. Siksa neraka digambarkan sebagai sangat besar, agar ada rasa takut untuk berperilaku tidak baik dan kelak terhindar dari siksa neraka setelah mati," ujar Dwi Cahyono kepada detikJatim, Rabu (24/8/2022).
Dwi mengaku, saat dirinya bertandang ke Candi Jago mencermati sejumlah panel relief yang menggambarkan kawah (jedi, wajan besar) berbentuk lembu (goh) dalam posisi ndekem (merendahkan tubuh) dengan punggung lengkung menyerupai 'bulan sabit' di relief menjadi jedi, yakni tempat merebus para pendosa.
"Berdasarkan bentuknya, kawah perebus orang-orang yang berdosa itu diberi sebutan 'Candragohmukha' yang artinya candra=bulan sabit, goh mukha=bermuka lembu, di mana dalam pewayangan Jawa dinamai Condrodimuko, tempat padamana para pendosa direbus dari arah bawah. Sementara dari arah atas bisa-bisa kejatuhan daun atau bunga dari pohon berwujud aneka senjata (tarusanjata) seperti pedang, tombak mata satu, trisula, cakra, dan sebagainya," aku Dwi.
Gambaran berikut yang tak kalah ngeri, lanjut Dwi, ketika para pendosa harus melewati jembatan khusus untuk mengukur tingkat dosa dari seseorang. Sebutannya adalah 'wot ogal-agil' atau disebut juga 'titi gonggang'. Jembatan ini menghubungkan antar area yang dipisahkan oleh jurang terjal nan dalam. Dimana dari dalamnya menyembul kobaran api maha besar.
![]() |
"Hal ini mengingatkan kita pada 'wot sirotolmustakim' yang tajamnya bagaikan rambut dibelah tujuh. Bila terpeleset darinya dan jatuh maka bakalan dilalap oleh api neraka. Nah, ngeri sungguh bukan, tingkat kesulitan untuk menitinya adalah ketajamannya (1/7 tebal rambut), pada wot ogal-agil tingkat kesulitannya adalah ketidakstabilannya (ogal-agil)," bebernya.
Pada wot ogal-agil, kata Dwi tingkat kesulitannya adalah ketidakstabilan. Sedangkan pada Titi Gonggang kesulitannya adalah kepada dasar pijakannya tidak rapat, ada celah tak teratur yang bisa menyebabkan orang terperosok.
"Pendek kata, apapun sebutan dan wujudnya, tidaklah mudah atau sangatlah pelik untuk melintasi jembatan (wot, titi) itu," kata Dwi.
Dwi menambahkan, sesuai konsepsi 'karma-pala' (buah dari perbuatan), siksaan neraka sesuai perilaku dosanya di dunia. Apabila tingkat lakunya di dunia seperti binatang, maka wujud anatominya di neraka menjadi manusia berkepala binatang. Bisa seperti digambarkan berkepala kambing, kerbau, kuda, dan lembu.
Sementara para penyerobot tanah milik orang akan disiksa dengan menyunggi lempengan tanah. Untuk perusak rumah orang lain akan disiksa dengan menyunggi rumah.
Kepada orang yang otaknya kotor, bakal ditancapi paku besar tepat di ubun-ubunnya. Ada pula yang disiksa dengan kepala dipatuk burung besar, diinjak makhluk berbentuk demon lembu bermuka singa, dan lainnya.
"Pendek kata, siksa neraka itu digambarkan jauh lebih mengerikan ketimbang siksaan pada penjara Sabaneta (Venezuela), Pulau Rikers (Amerika Serikat), Bang Kwang (Thailand), Pulau Petak (Rusia) maupun di penjara USP Florence ADMAX (Amerika Serikat)," imbuh Dwi.
Dwi menegaskan, cerita Kunjarakarna pada relief Candi Jago adalah sebuah transformasi visual dari susastra tekstual yang berjudul 'Kunjarakarnadharmmakatana'. Dwi berharap, bagi pengunjung Candi Jago saat seksama memeriksa cerita relief itu bakal memperoleh keteladanan hidup.
"Candi Jago dapat dijadikan sebagai media ajar bagi para pengunjung untuk melakukan kebaikan hidup. Sebagaimana hidup yang telah diteladani oleh Yaksa Kunjarakarna untuk bertobat dan memohon ampunan kepada Illahi. Agar dapat terhindar dari siksa neraka berkepanjangan," pungkasnya.
Simak Video "Kondisi Jalur Akses Penghubung Malang-Kediri Tertutup Longsor"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/iwd)