Erland Setiawan bersama sejumlah rekannya tampak antusias saat mementaskan Ludruk. Banyolan khas Jawa Timuran itu kerap mengundang decak kagum, senyuman, hingga tawa riang para penonton.
Memang, era ini bukan lagi zaman keemasan bagi Ludruk. Hal tersebut pun diamini pria yang memiliki nama panggung Robets Bayoned itu.
Bernostalgia Peran Ludruk Lawas dengan Alur Cerita Kekinian
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erland mengatakan kisah yang dibawakan dalam setiap pementasan pasca pandemi COVID-19 didominasi permasalahan atau kegelisahan teranyar di sekitar. Semuanya dikemas sesuai era penonton saat ini, terutama milenial.
"Kita sengaja membawa cerita-cerita Kartolo Cs untuk mengobati kerinduan teman-teman terhadap cerita mereka," kata Erland kepada detikJatim.
Dalam pementasan, ia dan sejumlah rekannya kerap bergiliran atau berganti peranan. Misalnya, Erland memerankan Kartolo, di kemudian hari ia memerankan tokoh lainnya.
"Tidak mesti ya, sering gantian, saya, Ipul, Ponco, Amin Abiyoso, dan Tari. Yang pasti, semuanya dalam naungan Republik Ludruk Indonesia, yang mengerjakan teman-teman Barisan Ludrukan Anak Muda (Balada) Sidoarjo," ujarnya.
Adopsi dan Berkiblat pada Ludruk Original
Seyogyanya, setiap kisah dan peranan yang dibawa memang tak fokus harus sama seperti tokoh asli. Meski begitu, pementasan yang ditayangkan lebih ke arah ceritanya.
"Jadi, tokoh-tokoh itu hanya simbol saja dan karakternya tidak harus sama, pokok'e gampang, dengan cara mendengarkan, pokok'e memper-memper (mirip-mirip sekilas), tapi isi banyolan-banyolan (guyonan) dari versi kita sendiri melalui kaset koleksi tape dan referensi lainnya," tuturnya.
Ketua Republik Ludruk Indonesia (RLI) itu menyatakan, Ludruk sendiri muncul sebagai alat perjuangan di zaman kolonial. Kala itu, arek-arek Suroboyo berjuang untuk hal yang lebih baik melalui guyonan satir, menggelitik, namun tetap etis.
![]() |
Sekarang pun, Erland mengaku mempunyai prinsip tidak bergantung pada pemerintah. "Pemerintah mau peduli atau tidak peduli, ya Ludruk harus berjuang sendiri. Peduli yo alhamdulillah tak tampani (diterima), gak peduli yo gak masalah, karena awal Ludruk pun juga berjuang sendiri, ludruk menghidupi dirinya sendiri," katanya.
"Lek jaman biyen misale karena musuhe Jepang, dadi ngudoroso karo kidungane tentang yok opo carane wong-wong ngelawan Jepang, di antaranya saat itu yang melakukan Cak Durasim, dibantu Munali Fatah dan kawan-kawan, di tahun 1943 dengan memunculkan ludruk organisasi yang saat itu memakemkan Remo, Kidungan, Jula Juli, dan masih banyak lagi (Kalau zaman dulu misalnya karena musuhnya Jepang, jadi Ngudoroso sama Kidungan tentang bagaimana caranya orang-orang bisa melawan Jepang, diantaranya saat itu yang melakukan Cak Durasim, dibantu Munali Fatah dan kawan-kawan, di tahun 1943 memunculkan Ludruk organisasi yang saat itu memakemkan Remo, Kidungan, Jula-Juli, dan masih banyak lagi)," lanjutnya.
Ludruk Kembali Dikenal, Berkembang, dan Berinovasi
Di Indonesia sendiri, Erland menyatakan ada beberapa komunitas Ludruk. Diantaranya Luntas, Balada, hingga Abiyoso.
Dari gabungan komunitas itu lah, kemudian terbentuk induk komunitasnya, yakni Republik Ludruk Indonesia.
"Jadi, istilahnya memberikan standar Ludruk kekinian, gak oleh ngawur, gak oleh niru konvensional, dan banyolane lebih ke lawakan yang sarat dengan materi, bukan dagelan. Misale, kita bahas sekolahan, ya bahas sekolahan, gak oleh mblarah tekan nandi-nandi, tematik lah, karena beda. kalau dagelan ke arah jongkrok-jongkrok'an, sloroh, porno, dan verbal fisik lain, nah itu yang kita hindari. (Tidak boleh ngawur, tidak boleh menjiplak yang konvensional, dan arahnya lebih ke lawakan yang sarat dengan materi, bukan dagelan. Misalnya, kita bahas sekolahan, tidak boleh meluas ke mana-mana, tematik lah. Kalau dagelan ke arah fisik, itu kita hindari)," ujar dia.
Maka dari itu, pemain Ludruk saat ini dituntut lebih cerdas dan adaptif. Terlebih, dengan keresahan masyarakat dan isu terkini di sekitar.
"Intine guyon sing cerdas lah, kecuali itu tema atau materi, sijih maneh. (Intinya, bercanda yang cerdas lah, kecuali itu tema atau materi ya beda lagi)," tutur dia.
Total kelompok Ludruk di Surabaya, sebut Erland, mencapai 12. Jumlah itu terdiri dari pelajar, komunitas, hingga konvensional.
"Ada komunitas yang cenderung ke anak-anak muda, konvensional yang mempertahankan pakemnya ludruk jaman dulu, pelajar, dan mahasiswa," kata dia.
Pemain dan Penggemar Ludruk Bersatu
Bulan lalu, penggemar Ludruk dikejutkan dengan kabar tak mengenakkan dari Cak Sapari. Salah satu legenda hidup Ludruk itu sakit parah dan terbaring di rumah sakit.
Erland dan sejumlah rekannya pun tergugah untuk empati. Salah satunya dengan mengadakan pementasan bertajuk Charity for Sapari.
Menurutnya, kegiatan itu berawal dari para pegiat Ludruk yang mencoba untuk peduli terhadap para seniornya, Kartolo, Sapari, dan Beni.
"Kebetulan, saat ini Pakde Sapari ini sakit, tapi tidak ada perhatian dari pihak terkait. Kemudian, kita melihat tergerak untuk melakukan kepedulian terhadap beliau dan juga karena merupakan salah satu guru kita," paparnya.
Erland mengaku, sudah berguru tentang ngeludruk sejak 2009 kepada Sapari CS. Hingga kini, ia mengaku sudah menganggap sebagai orangtuanya sendiri.
Maka dari itu, sejak mengetahui Sapari sakit parah, ia dan sejumlah seniman Ludruk sedih dan menyesal. Padahal, sebelumnya mereka pernah berkunjung ke sana.
"Awalnya, saya kira sakit biasa karena sudah tua, ternyata semakin parah. Karena semakin parah, kita buat aksi untuk berobat, sebelumnya kita bawa dokter untuk memeriksa penyakitnya apa, ternyata ada infeksi paru-paru. Bukan hanya komplikasi, tapi juga ada infeksi paru-paru, itu yang menyebabkan makannya jadi nggak bisa teratur dan masuk, semakin kurus, lalu harus dirawat di rumah sakit," ujar dia.
Berdasarkan keterangan dokter, sakit yang diderita Sapari kian parah lantaran terlalu banyak tidur dengan posisi terlentang. Kemudian, ada cairan, kuman, hingga bakteri mengendap dan menjadi penyakit.
"Awalnya, kita sampaikan ke salah satu media, ditanggapi, dan disampaikan ke walikota. Lalu, ada tayangan dari wali kota yang nggak mau warganya sakit dan susah, akhirnya ditanggapi dengan baik dan ditanggapi. 8 bulan lalu (tahu Sapari sakit), lalu kami gelar aksinya sejak 18 Juni sampai 5 Juli 2022 kemarin," bebernya.
Dari situ, ia dan sejumlah rekannya menggelar pementasan dari 1 kafe ke kafe untuk pementasan amal itu. Selain manggung, mereka juga menggelar saweran dari para penonton, baik secara konvensional mau pun transfer donasi.
"Awalnya gak sampai buka donasi, hanya main Ludruk biasa, lalu sawerannya kami sumbangkan. Karena, antusias penikmat Ludruk, terlebih dari Luntas, awalnya 2 tempat, akhirnya kami buka di beberapa tempat, yakni di Mbah Cokro, Kayoon, Boncafe, dan di Kafe Kita," katanya.
Untuk 5 kali pementasan itu, ia mengaku telah menerima donasi dan saweran lebih dari Rp 42 juta. Berawal dari Ludruk Charity itu lah, ternyata antusiasme masyarakat begitu banyak.
Oleh karena itu, ia dan sejumlah punggawa Ludruk merasa, charity itu harus berlangsung secara kontinyu. Mengingat, ada pada legenda hidup ludruk dan keluarga yang harus dibantu secara ekonomi.
"Ya dibantu untuk mengurus BPJS, pengobatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Makannya, kita berusaha untuk lebih peduli makannya kita akan bikin dewan Ludrukan Surabaya yang lebih ke arah pergerakan sosial, kepedulian, khususnya seniman ludruk dan masyarakat umum, terutama bantuan untuk seniman Ludruk yang tua-tua dan tidak ada penghasilan," jelas dia.