Mengenal Ceprotan, Tradisi Saling Lempar Kelapa Cengkir di Pacitan

Mengenal Ceprotan, Tradisi Saling Lempar Kelapa Cengkir di Pacitan

Purwo Sumodiharjo - detikJatim
Senin, 28 Mar 2022 10:22 WIB
ceprotan pacitan
Ceprotan, tradisi saling lempar buah kelapa cengkir di Pacitan (Foto: Purwo Sumodiharjo)
Pacitran -

Pacitan memiliki tradisi unik bernama Ceprotan. Tampilan budaya asli Desa Sekar, Donorojo itu sangat atraktif. Yakni menampilkan dua kelompok pemuda saling lempar.

Adapun benda yang dilempar pun bukan asal-asalan. Tapi berupa buah kelapa muda jenis cengkir yang telah direndam selama beberapa hari. Bagian sabut juga harus dikupas bersih sebelum digunakan untuk saling melempar.

"Jadi tradisi Ceprotan itu sudah ada sejak turun temurun terutama menyangkut tokoh Kaki Godhek yang babat alas Desa Sekar," ujar Ketua Lembaga Adat Desa Sekar, Agus, kepada detikJatim, Senin (28/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus mengatakan ceprotan berlatarbelakang Kerajaan Jenggala. Konon kala itu ada seorang pria asal Desa Kalak bernama Kaki Godhek. Tokoh yang dikenal sakti mandraguna itu memutuskan membuka permukiman baru.

Kala itu dirinya tengah membersihkan hutan. Tujuannya untuk dijadikan hunian. Pada saat bersamaan datanglah seorang putri bernama Dewi Sekartaji. Perempuan bernama asli Galuh Candrakirana itu tengah berkelana.

ADVERTISEMENT

"Dewi Sekartaji kehausan setelah melakukan perjalanan jauh. Lalu minta minum berupa kelapa muda," papar Agus menyitir cerita nenek moyang.

Kaki Godhek pun langsung menyanggupi permintaan putri yang sejak awal diketahuinya sebagai bangsawan. Hanya saja dirinya meminta sedikit waktu. Pasalnya di sekitar tempat itu tak ada pohon kelapa.

ceprotan pacitanTradisi ceprotan di Pacitan (Foto: Purwo Sumodiharjo)

Langkahnya langsung tertuju ke pesisir selatan. Seperti diketahui sepanjang kawasan pantai Pacitan memang merupakan daerah penghasil kelapa. Uniknya, dalam sekejap Kaki Godek sudah kembali dengan membawa buah kelapa.

"Namanya orang dulu kan sakti-sakti ya. Jadi meskipun jaraknya jauh bisa ditempuh cepat," tambah Agus yang sejak 5 tahun terakhir menjadi panitia Ceprotan.

Dewi Sekartaji senang bukan kepalang. Ini setelah keinginannya meminum air kelapa terwujud. Hanya saja karena volume air kelapa cukup banyak, sang putri tak mampu menghabiskan. Dia lantas meletakkan tempurung yang masih ada airnya tak jauh dari tempatnya duduk.

Tempat diletakan tempurung itu kelak keluar sumber air yang masih terpelihara hingga saat ini. Sementara, sebelum melanjutkan pengembaraannya Dewi Sekartaji meninggalkan pesan. Yakni agar momen tersebut diabadikan dengan peringatan dengan menggunakan perantaraan buah kelapa.

"Pesan lain dari Dewi Sekartaji agar lahan permukiman itu diberi nama Sekar. Jadi Ceprotan itu sendiri memang ada kait hubungannya dengan asal usul Desa Sekar," jelas Agus.

"Ada versi lain yang menyebut Kaki Godhek menikah dengan Dewi Sekartaji. Mana yang benar, saya ndak tahu. Kan sumbernya cerita turun temurun," paparnya.

Kembali pada asal muasal upacara adat Ceprotan. Sejak peristiwa tersebut, warga rutin menggelar ritual setahun sekali. Salah satunya dengan membuat sesaji berupa ayam ingkung dan meletakkannya di lokasi sumber air.

ceprotan pacitanTradisi ceprotan di Pacitan (Foto: Purwo Sumodiharjo)

Suatu ketika ayam ingkung yang telah disiapkan untuk sesaji diambil orang dan dibawa lari. Warga yang mengetahuinya lantas beramai-ramai mengejar dan melempari pencuri tersebut. Kejadian inilah yang kemudian menjadi tonggak digelarnya upacara adat Ceprotan.

"Kelapa muda dalam istilah setempat disebut Cengkir. Kependekan dari Kencenging Pikir," ungkap Agus membeber filosofi bahan yang digunakan untuk Ceprotan.

"Jadi nilai yang bisa dipetik adalah pentingnya menjaga kegotongroyongan. Sehingga semua ancaman dan gangguan bisa diatasi bersama," imbuhnya.

Tradisi Ceprotan sendiri telah menjadi agenda tahunan. Tepatnya saat ritual bersih desa. Yakni tiap hari Senin Kliwon, bulan Longkang dalam kalender Jawa. Event budaya itu bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2017 lalu.

Pegiat budaya Johan Perwiranto menyebut lahirnya Ceprotan tak lepas dari kepiawaian para pujangga zaman dahulu. Ini tampak dari balutan kisah Panji di dalamnya. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita yang ada, namun tradisi yang ada makin memperkaya khazanah budaya Kota 1001 Gua.

Tokoh yang aktif di sanggar seni 'Jagrak' ini pun mendukung upaya lembaga adat untuk membakukan tata cara perayaan budaya tahunan itu. Sebab selain kental dengan nilai tradisi, Ceprotan selama ini juga selalu menyedot perhatian wisatawan.

"Saya kira kalau bicara upacara adat, Pacitan itu banyak sekali. Beberapa di antaranya berlatarbelakang cerita Panji. Salah satu yang begitu dikenal adalah Ceprotan," pungkasnya.




(iwd/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads