Kisah Harijono Tekuni Budidaya Perkutut Bernilai Ratusan Juta

Kisah Harijono Tekuni Budidaya Perkutut Bernilai Ratusan Juta

M Bagus Ibrahim - detikJatim
Kamis, 25 Sep 2025 09:45 WIB
Mengenal Budidaya Burung Perkutut Lomba di Malang
Budidaya burung perkutut di Kota Batu (Foto: M Bagus Ibrahim/detikJatim)
Kota Batu -

Dari sekadar penasaran, Harijono (55) kini sukses dikenal sebagai pembudidaya burung perkutut lomba asal Pakis, Kabupaten Malang. Suara merdu burung-burung peliharaannya bukan hanya mengantarkannya juara di berbagai kontes, tapi juga bernilai hingga ratusan juta rupiah.

Burung perkutut, yang memiliki nama latin Geopilia, memang lama jadi primadona pecinta burung karena kicauannya yang khas. Tingginya minat, terutama untuk lomba, membuat harga perkutut bisa melambung tinggi.

Hal inilah yang mendorong Harijono menekuni dunia budidaya burung perkutut bangkok khusus lomba sejak tahun 2000. Kini, ia memiliki puluhan burung berkualitas yang sudah dikenal di kalangan pencinta perkutut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria 55 tahun itu menceritakan awal mula usahanya bermula dari obrolan dengan seorang pelanggan saat masih bekerja sebagai tenaga pemasaran.

ADVERTISEMENT

"Dulu saya bekerja sebagai tenaga pemasaran di salah satu perusahaan. Saat itu saya bertemu dengan salah satu pelanggan yang membudidayakan burung perkutut lomba," kata Harijono, Senin (22/9/2025).

"Saat bertemu pelanggan ini saya ngobrol banyak dan baru tahu kalau ternyata burung perkutut ini bisa laku mahal. Dari situ, tahun 2000 saya mulai coba belajar bagaimana cara budidaya burung perkutut," imbuhnya.

Sejak itu, Harijono tekun belajar pada breeder perkutut kenalannya. Mulai dari tata cara budidaya hingga memahami suara dan irama burung yang bagus.

"Kalau burung perkutut lomba ini beda dengan burung perkutut biasa. Kalau burung perkutut lomba ini yang dicari suara dan iramanya. Kalau bahasa awamnya, mirip seperti orang bernyanyi begitu juga dengan burung perkutut," jelasnya.

Untuk mengasah kualitas, Harijono rajin mengikuti perlombaan, baik di Malang Raya maupun di luar daerah seperti Surabaya dan Blitar. Upayanya tak sia-sia, beberapa kali ia berhasil meraih podium juara.

Salah satu perkututnya bernama Fatin pernah sering juara hingga ditawar Rp 50 juta dan akhirnya ia lepas. Kini, maskot andalannya bernama Bangga Agung bahkan pernah ditawar Rp 160 juta oleh pengusaha batu bara asal Kalimantan, namun ditolak.

"Fatin dulu sering juara sampai ditawar Rp 50 juta dan sudah saya lepas. Sekarang ini saya masih ada sepasang, saya beri nama Bangga Agung. Maskot saya ini pernah ditawar Rp 160 juta oleh pengusaha batu bara asal Kalimantan tetapi tidak saya lepas," ungkap Harijono.

"Soalnya Bangga Agung ini kan memiliki suara yang merdu dan sering meraih juara. Meski usianya sudah tua sekitar 6 tahun, tapi jika dibudidayakan pastinya akan menghasilkan bibit yang unggul nantinya," sambungnya.

Meski begitu, Harijono menyebut budidaya perkutut tidak mudah. Indukan berkualitas tidak selalu menjamin keturunan yang moncer.

"Jadi bisa dibilang dari indukan bagus pasti anaknya bagus. Cuman kualitasnya apakah bisa lebih moncer itu belum tentu. Jadi yaa kalau tiba-tiba beli dan dapat kualitas bagus itu rezeki," terangnya.

Menurutnya, alur budidaya diawali dengan menjodohkan sepasang perkutut. Setelah bertelur, butuh sekitar 14 hari untuk menetas. Bayi perkutut kemudian dipindahkan ke burung puter untuk dibesarkan selama 1,5 bulan. Pada fase ini, burung diberi penanda berupa ring dengan nomor seri dari Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia.

"Ring itu sebagai data penanda, semisal burung itu juara. Dari tahap inilah, bisa diketahui burung perkutut yang dihasilkan berkualitas atau tidak. Kode ini juga bisa membantu pembeli mengetahui akar keluarganya burung ini seperti apa," tutur Harijono.

Penilaian kualitas bibit dilakukan dengan cara diikutkan lomba. Dari situlah, baru bisa diketahui apakah burung tersebut punya suara bagus atau tidak.

"Lomba burung perkutut ini ada 3 kelas. Pertama kelas piyik hanging usia kisaran di bawah 5 bulan. Kedua kelas piyik junior untuk usia di bawah 7 bulan. Ketiga kelas dewasa dengan usia burung di kisaran 8 bulan," terangnya.

"Perbedaannya 3 kelas ini, untuk ketinggian tiang. Kalau kelas dewasa syarat harus sepasang dan ketinggian tiang 7 meter. Kalau kelas piyik junior itu tidak sepasang dan ketinggian tiang sekitar 4 meter dan untuk piyik hanging sama tidak sepasang, cuman ketinggian lebih rendah," imbuhnya.




(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads